Kontan,10 Oktober 2019
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemanfaatan gas bumi telah menjadi bagian dari penggerak ekonomi seiring dengan meningkatnya alokasi untuk kepentingan domestik. Gas bumi tak lagi hanya menjadi komoditas, tapi juga sebagai sumber energi potensial baik untuk sektor kelistrikan, industri maupun rumah tangga.
Kendati begitu, bisnis gas bumi bukannya tanpa kendala. Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, kendala utama di bisnis gas bumi ialah masalah distribusi.
Komaidi menggambarkan, sekitar 80% pengguna gas berada di wilayah Indonesia bagian barat. Sebaliknya, saat ini sekitar 75% cadangan gas berada di wilayah Indonesia timur.
Selain itu, Komaidi menyebut bahwa karakteristik komoditas gas berbeda dengan minyak. “Kan distribusi gas berbeda dengan minyak. Kalau minyak diproduksi, bisa disimpan dalam suatu tempat dan bisa dipindahkan ke pengguna. Sementara gas unik, pilihannya relatif terbatas dalam hal distribusi,” kata Komaidi kepada Kontan.co.id, Kamis (10/10).
Pilihannya, kata Komaidi, gas tersebut harus diubah terlebih dulu menjadi gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) supaya mudah diangkut. Jika tidak, maka harus dibangun infrastruktur distribusi berupa jaringan pipa.
“Berarti harus bangun pipa sepanjang sumber dan pengguna. Tentu, dalam beberapa kasus, ini menjadi tidak ekonomis,” terang Komaidi.
Hal tersebut diamini oleh asosiasi trader gas melalui pipa atau Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA). Kepala Bidang Kelembagaan INGTA, A. Hendrayana mengatakan distribusi gas menjadi tantangan yang harus diatasi oleh anggotanya.
Alasannya, ada ketidak seimbangan antara daerah penghasil gas yang sebagian besar berada di Jawa, sementara penghasil gas lebih banyak di luar Jawa. “Jadi tantangannya ada di infrastruktur jalur pipa. Ini perlu diperhatikan sehingga dapat menggairahkan industri untuk lebih memanfaatkan gas,” kata Hendra saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (10/10).
Menurut Hendra, sektor industri memang menjadi penyerap gas terbanyak dibandingkan rumah tangga. “Kalau untuk pasokan ke rumah tangga angkanya kecil sekali, dibandingkan volume suplai ke industri,” sebutnya.
Untuk pangsa pasar penyaluran gas, Hendra menyebut, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) memegang peranan paling besar. Dari 26 perusahaan yang bernaung di INGTA, porsi sub holding gas BUMN untuk segmen industri dan rumah tangga sangat signifikan, yakni mencapai 96%. “Sementara 4% sisanya dipegang oleh 25 anggota lainnya,” ungkap Hendrayana.
Selain karena besaran investasi, PGAS memegang porsi yang besar lantaran mendapatkan penugasan dari pemerintah, seperti membuat pipa transmisi. “Mereka (PGAS) mendapat penugasan dan previlage dari pemerintah serta mendapatkan alokasi gas yang diprioritaskan sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM,” terangnya.
Asal tahu saja, bersama pemerintah, PGAS memang diberikan penugasan untuk membangun infrastruktur gas bumi, seperti jaringan distribusi gas bumi (jargas). Targetnya, akan terbangun jargas sebanyak 4,7 juta sambungan hingga 2025 nanti.
Hingga tutup tahun lalu, PGAS sudah merealisasikan 524.433 sambungan. Adapun untuk tahun ini, subholding gas bumi plat merah itu menargetkan pembangunan 78.216 sambungan.
Sebagai informasi, hingga Semester I 2019 volume distribusi PGAS mencapai 932 BBUTD, yang mana lebih dari 95% dialirkan ke segmen industri.