(Koran SINDO;Selasa, 26 Mei 2015)
JAKARTA – Sejumlah kalangan menilai dukungan terhadap industri minyak dan gas (migas) belum optimal dalam mewujudkankonsistensi dan kepastian hukum.
Penilaian itu pun menjadi pendorong bagi pemerintah dan DPR untuk mematangkan dukungan terhadap industri migas dalam revisi Undang-Undang Migas.
Direktur ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan. pemerintah secara teknis tidak melakukan upaya, bahkan terobosan di luar kelaziman (out of the box)untuk mendorong industri migas nasional.
Anggapan Agus itu berdasarkan masih banyaknya perizinan yang berada pada berbagai institusi, seperti Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan juga pemerintah daerah.
Perizinan di sektor hulu migas tidak mungkin semuanya diserahkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Perizinan masih di Dirjen Migas, SKK Migas, dan pemerintah daerah, katanya di Jakarta, kemarin. Menurut dia, permasalahan di sektor hulu migas sebenarnya sudah lama dan selalu menjadi kendala.
Namun, penyelesaian yang dilakukan tidak sesuai, banyak yang hanya dilakukan di permukaan tetapi tidak diimplementasikan. Kementerian ESDM juga fokusnya jadi lain. Fokusnya bersih-bersih dari korupsi, sementara sektor hulu itu fokusnya meningkatkan produksi dan cadangan, katanya.
Dia mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas revisi terhadap UU No 20/ 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang selama ini diwacanakan juga belum disentuh. Padahal, RUU Migas nantinya bisa memberikan perbaikan terhadap sektor hulu migas, ungkap dia. Presiden Direktur PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC)Lukman Mahfoedz berharap UU Migas kedepan mampu mengakomodasi semua kepentingandenganjangkawaktuyang lama.
Para pemangku kepentingan (stakeholder) di sektor hulu migas juga diikutsertakan dalam memberikan masukan. Reserve placement Indonesia kan 50%, sementara diMalaysia sudah150%. Kita berharap bisa mengejar ketertinggalan itu, tandasnya. Sementara, Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W Yudha mengatakan, revisi UU Migas sudah ada dalam prolegnas 2015.
DPR sudah meminta Kementerian ESDM menyiapkan draf untuk diputuskan dalam sidang paripurna. Menurut Satya, ketika ada pembahasan tingkat I dengan pemerintah, tidak boleh lebih dari dua kali masa sidang. Dengan demikian, penyelesaian RUU Migas tidak akan berlarutlarut dan maksimal dalam dua kali masa sidang akan selesai. Kalau sudah diputus bulan depan, argonya sudah mulai jalan, dua kali masa sidang sudah selesai, ungkap dia.
Sementara, Komisi VII DPR pekan ini akan mengumpulkan pemangku kepentingan di sektor minyak dan gas (migas) untuk merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas. Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika mengatakan, RUU Migas telah ditunggu para investor. Pasalnya, dengan undang- undang, akan ada kepastian hukum bagi para investor di sektor migas. Kalau uang yang dikeluarkannya besar, pasti concern dengan kepastian hukum, kata dia baru-baru ini.
Adapun yang menjadi perhatian selanjutnya adalah eksekusi kepastian dan insentif yang diberikan. Pemerintah melalui Kementerian ESDM sebelumnya menargetkan segera memfinalisasi draf revisi RUU Migas. Dalam draf tersebut ada lima bahasan pokok. Pertama, bagaimana UU Migas diarahkan untuk memperbaiki iklim investasi. Kedua, memastikan status kelembagaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha HuluMinyakdanGasBumi(SKK Migas).
Ketiga, memperjelas arah national oil company, yakni PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) harus menjadi pemain andalan, baik nasional maupun global. Keempat, mendorong Pertamina menjadi perusahaan yang kompetitif. Kelima, mengubah cara pandang terhadap migas, tidak hanya menjadi andalan penerimaan negara, tetapi juga pendorong pertumbuhan ekonomi. Kardayamelanjutkan, saat ini Indonesia sudah masuk dalam krisis energi.
Tapi, tidak ada tindakan solutif yang dilakukan terhadap masalah di sektor migas. Maka itu, dalam lima tahun terakhir masalah-masalah di sektor migas tidak terselesaikan. Dia menilai, peralihan izin dari kementerian teknis ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) masih harus diperbaiki. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran menambahkan, sudah saatnya UU Migas berubah dari rezim komoditas menjadi rezim energi.
Setelah menjadi rezim energi, kebijakan yang dikeluarkan harus mengacu pada UU Energi dan Kebijakan Energi Nasional yang sudah menjadi peraturan pemerintah. Yang harus dibuat dalam RUU Migas, kalau rezimnya energi, maka untuk mendukung ketahanan kemandirian energi, yaitu bagaimana skenario memanfaatkan migas, kata dia.
Sementara Ketua Komite Eksplorasi Nasional (KEN) Andang Bachtiar mengatakan, upaya yang akan dilakukan adalah memperpendek regulasi dan mempermudah proses tender. Dia mengatakan, KEN tidak membuat suatu kebijakan karena tidak memiliki kewenangan. KEN hanya akan memberikan rekomendasi terkait dengan teknis ataupun nonteknis terkait prospek-prospek yang memiliki nilai strategis.