Bisnis.com; 18 Februari 2024
Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai pengerjaan jaringan gas (jargas) rumah tangga yang belakangan diserahkan sepenuhnya kepada skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) rentan meleset dari target.
Pri menilai pengembangan infrastruktur gas lewat KPBU dan investasi swasta lainnya bakal tergantung dari hitung-hitungan keekonomian perusahaan yang belum tentu sejalan dengan rencana strategis atau peta jalan pembangunan jargas nasional.
“Ketika terjadi perubahan objektif dari badan usaha, objektif dan rencana strategis pengembangan infrastrutur gas nasional yang sudah memiliki landasan dan semestinya menjadi pegangan dapat kemudian berubah atau bergeser,” kata Pri lewat keterangan tertulis, Minggu (18/2/2024).
Pri menggarisbawahi rencana dan kalkulasi keekonomian dari badan usaha dan pemerintah tidak selalu sama atau dapat berjalan beriringan. Hal itu, kata dia, membuat skema KPBU atau desain investasi korporasi lainnya dalam pengembangan infrastruktur gas tidak dapat dieksekusi secara efektif.
Menurut dia, untuk membuat mekanisme KPBU berjalan efektif diperlukan peran langsung pemerintah untuk menjamin pengembalian investasi dan kalkulasi badan usaha terkait. “Peran langsung pemerintah dalam hal ini dapat berupa pemberian kompensasi atas penugasan tertentu, penjaminan proyek atau insentif fiskal dan non-fiskal lainnya,” kata dia.
Di sisi lain, dia menambahkan, pembangunan infrastruktur gas belakangan menjadi krusial di tengah proyeksi defisit gas sekitar 4,022 MMscfd pada 2030 mendatang. Saat itu, volume kebutuhan gas bumi berdasarkan perjanjian jual beli gas (PJBG) diproyeksi lebih tinggi dari pasokan yang tersedia saat ini.
“Defisit neraca gas tersebut dapat diantisipasi atau diminimalkan jika terdapat tambahan pasokan gas bumi dari project supply dan potential supply, yang dalam hal ini bergantung pada penambahan infrastruktur gas,” kata dia. Pemerintah belakangan memutuskan untuk memangkas target pembangunan jargas dari semula dipatok 4 juta sambungan menjadi 2,5 juta sambungan rumah hingga akhir 2024 nanti.
Keputusan itu diambil dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Ratas itu turut dihadiri jajaran menteri koordinator dan teknis terkait.
Pemerintah juga memutuskan untuk memberikan insentif harga gas dari hulu dengan ketetapan maksimal US$4,72 per MMBtu bagi pengembang. Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana membuka lelang internasional untuk mengakselerasi pembangunan jargas yang telah lama melempem.
Sebelum keran investasi dibuka lebar, pemerintah lebih dahulu mematangkan muatan KPBU dalam revisi Perpres Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi Melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi Untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menuturkan, revisi beleid itu berkaitan dengan upaya untuk memasukan opsi kerja sama anyar KPBU ke dalam program pengadaan jaringan gas domestik mendatang. Lewat Perpres anyar ini, investasi swasta bakal dibuka selebar-lebarnya dengan tetap menyediakan penjaminan dari pemerintah. Seperti diketahui sebelumnya program jargas ini lebih banyak mengandalkan pendanaan langsung dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
“Kemungkinan besar tendernya akan dibuka internasional dari luar juga bisa dan kita juga bisa melakukan itu baru kita bisa lebih kencang lagi,” kata Tutuka kepada Bisnis dikutip Minggu (18/2/2024).
Hingga akhir tahun 2023, jargas rumah tangga yang sudah terpasang mencapai 900.000 sambungan rumah tangga (SR). Dari jumlah tersebut, sebagian besar didominasi pendanaan yang berasal dari APBN sebanyak 703.308 SR, dan sisanya dibangun melalui penugasan pemerintah kepada PGN.