Detik.com; 31 Oktober 2022
Jakarta – Langkah cepat pemerintah untuk memperpanjang ekspor gas alam ke Singapura mendapat sorotan banyak pihak. Di tengah tingginya kebutuhan energi yang lebih efisien dan rendah emisi di dalam negeri, keputusan itu dinilai justru menjadi bukti bahwa kebijakan pengelolaan energi belum sepenuhnya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat Indonesia.
“Idealnya, sebuah negara akan lebih memprioritaskan pemenuhan energi domestik ketimbang memikirkan kebutuhan negara lain. Apalagi kondisi saat ini kita sedang dihadapkan pada biaya energi yang tinggi akibat besarnya konsusmi BBM dan LPG yang diimpor,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, kepada wartawan, akhir pekan ini.
Komaidi menegaskan, jika Indonesia memang punya cadangan gas bumi yang cukup sebaiknya dikelola dengan lebih baik. Dengan populasi yang terus membesar dan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang baik akan membuat Indonesia membutuhkan sumber energi yang kompetitif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing.
Belajar dari krisis energi yang terjadi di Eropa dan dunia, ketahanan energi menjadi faktor penting yang harus menjadi prioritas pemerintah dan dengan terjaganya ketahanan energi juga akan meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam diplomasi energi.
“Bila perlu ekspor energi dikurangi. Kalau sumber daya yang kita miliki tidak cukup, nanti justru impor akan semakin membesar dan membuat ketahanan energi terus melemah. Ke depan, pasokan gas perlu diatur dengan lebih baik pasokannya, jangan dihabiskan, terlebih dengan cita-cita menjadikan gas bumi sebagai energi transisi,” tegasnya.
Terlepas dari besarnya perhatian terhadap ekspor gas ke Singapura, optimalisasi gas bumi, terutama gas alam, di dalam negeri dinilai sangat penting baik untuk kebutuhan pembangkit, industri dan rumah tangga.
“Gas ini merupakan energi transisi menuju energi yang lebih bersih atau EBT. Jika memang pemerintah punya komitmen untuk mencapai net zero emissions, mestinya penggunaan gas bumi di perbesar untuk sektor-sektor strategis,” ungkapnya.
Berbeda dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) gas bumi memiliki keunikan. Kunci pemanfaatannya ada pada infrastruktur. “Jadi, bila tidak ada infrastruktur maka tidak bisa dimanfaatkan. Konsumen gas di Jawa dan Sumatera, tapi sumber daya ada di Indonesia Timur. Bila tidak terkoneksi maka gas tidak dapat dimanfaatkan,” terangnya.
Untuk itu, Komaidi meminta komitmen dan langkah penting pemerintah dalam rangka mendukung optimalisasi gas di dalam negeri harus berupa kebijakan yang konkrit dari hulu sampai dengan hilir. Yang menjadi prioritas adalah tersedianya pasokan gas yang didukung dengan terwujudnya kematangan infrastruktur gas. Sehingga rantai pasok gas bumi mulai dari hulu sampai hilir dapat terintegrasi dan harapannya konsumen pengguna gas akan terus membesar.
“Pemerintah mesti intervensi untuk membangun pasar gas bumi yang besar di domestik baik dalam bentuk kebijakan (policy) maupun regulasi. Karena bisnis gas ini unik, tidak bisa umur sumurnya 20 tahun tapi komitmen pembeliannya hanya 15 tahun. Intervensi itu bisa saja dilakukan misalnya mendorong pabrik pupuk, petrokimia, PLN dimana BUMN menggunakan gas bumi. Yang dibutuhkan adalah sesuatu yang konkrit dan keberpihakan, bukan hanya sekadar aturan,” ujar Komaidi.
Jika komitmen itu bisa diwujudkan, pemerintah dinilai benar-benar telah menjalankan amanat UUD 45. Bahwa gas bumi yang berasal dari perut bumi Indonesia harus bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat Indonesia.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk segera memperbarui perjanjian pasokan baru gas bumi ke Singapura dari Sumatera Selatan karena perjanjian penjualan sebelumnya akan berakhir pada 2023.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan keputusan telah disimpulkan dan perjanjian pasokan baru akan untuk jangka waktu lima tahun.