Bisnis.com,18 Maret 2020
JAKARTA – Rencana pemerintah menurunkan harga gas industri mengikuti Peraturan Presiden No. 40/2016 untuk lebih dari 843 industri akan disertai risiko terpangkasnya pendapatan negara dari hulu migas.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, untuk mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 terkait dengan harga gas industri, pemerintah harus lebih banyak berkorban agar bisa terlaksana dengan baik.
Menurutnya, dengan kondisi yang ada saat, pemerintah sudah bisa menjalankan kebijakan tersebut. “Perpres tersebut bisa dilakukan jika pemerintah berkorban untuk tidak mengambil bagian penerimaan negara dari pengusahaan gas,†ujarnya kepada Bisnis, Rabu (18/3/2020).
Sementara itu, terkait dengan dimasukannya sektor listrik sebagai penerima insentif harga gas US$6 per Mmbtu, Komaidi menilai pemerintah memiliki potensi untuk mendapatkan kompensasi dari kehilangan penerimaan negara bukan pajak dari sektor migas.
Kendati demikian, masih perlu perhitungan lebih lanjut untuk bisa menentukan apakah besarannya akan setara dengan pendapatan negara yang akan dikorbankan tersebut.
“Dengan harga gas lebih murah harusnya memang biaya produksi listrik lebih rendah. Namun apakah besarannya setara dengan pendapatan negara yang dikorbankan dari pengusahaan gas atau tidak, itu yang perlu dihitung oleh pemerintah,†jelasnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menjelaskan untuk menetapkan harga gas industri US$6 per Mmbtu tersebut harus ditanggung pemerintah di sektor hulu dan sektor antara.
Menurut dia, biaya yang ditanggung oleh pemerintah adalah melepas pendapatan pemerintah dari sektor hulu sebesar US$2,2 per MMBtu, yang akan menurunkan PNBP dalam jumlah yang besar.
Penurunan PNBP juga akan menurunkan pendapatan pemerintah daerah dari pendapatan bagi hasil, yang besarannya diperhitungkan berdasarkan PNBP.
Dia menambahkan, biaya yang akan ditanggung oleh sektor hulu adalah pemangkasan harga jual, yang akan menjadi potential lost hingga mengurangi margin yang sudah ditargetkan pada saat penyusunan POD saat awal investasi di hulu migas.
“Dampaknya, pemangkasan harga jual itu akan menjadikan investasi di sektor Hulu Migas menjadi tidak kondusif lagi,†ujarnya.
Di sisi lain, biaya yang ditanggung di sektor midterm adalah penurunan biaya transmisi dan biaya distribusi serta biaya pemeliharaan, yang berpotensi menjadikan tidak hanya merugi, tetapi juga menghambat PGN dalam pembangunan pipa yang masih dibutuhkan untuk menyalurkan gas bumi dari hulu ke hilir
Sementara manfaat penetapan harga US$6 per MMbtu belum tentu menaikkan daya saing industri.“Alasannya, beberapa variabel biaya lain, termasuk pajak, masih membebani industri, selain efisiensi dan produktivitas industri masih tergolong rendah,†ungkapnya.
Adapun penurunan harga gas untuk PLN akan mengurangi kompensasi dan subsidi listrik dinilai masih perlu perhitungan yang lebih dalam. Pasalnya, proporsi gas dalam bauran energi pembangkit listrik hanya 15 persen, sedangkan proporsi terbesar masih didominasi oleh batu bara sebesar 57 persen.
“Pada saat Pemerintah menetapkan DMO harga batubara US$ 70 per metric ton saat harga batu bara dunia mencapai US$ 100 per metric ton, juga tidak menurunkan kompensasi dan subsidi listrik,†jelasnya.