Friday, November 22, 2024

Harga Minyak dan BUMN Migas

Bisnis.com; 20 Agustus 2021

Harga minyak dunia selama semester I/2021 meningkat signifikan. Publikasi US Energy Information Administration menyebutkan harga minyak jenis Brent dan WTI untuk periode Juli 2021 masing-masing US$75,17 per barel dan US$72,49 per barel.

Harga kedua jenis minyak tersebut tertinggi sejak Januari 2019. Harga minyak Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) juga meningkat signifikan.

Realisasi ICP untuk Juli 2021 sebesar US$72,17 per barel atau meningkat 60,37% dari asumsi APBN 2021 yang ditetapkan US$45 per barel. Terkait harga minyak, posisi Indonesia cukup unik.

Dalam tingkatan tertentu harga minyak yang terlalu tinggi atau rendah tidak cukup baik bagi perekonomian. Harga minyak tinggi umumnya tidak baik bagi pengeluaran APBN, neraca dagang, nilai tukar, dan daya saing produk dalam negeri. Bila harga minyak rendah tidak baik untuk penerimaan APBN yang meliputi penerimaan pajak maupun PNBP dari sumber daya alam.

Kondisi Pertamina terpantau relatif berbeda dengan perusahaan migas umumnya. Bagi sebagian besar perusahaan migas, peningkatan harga minyak berdampak positif terhadap kinerja keuangan mereka. Ketika harga minyak meningkat, perusahaan migas umumnya memperoleh windfall profit.

Namun kondisi ini tidak selalu berlaku untuk Pertamina. Review ReforMiner terhadap laporan keuangan Pertamina dalam 10 tahun terakhir menemukan bahwa peningkatan harga minyak cenderung berdampak negatif terhadap keuangannya.

Peningkatan harga minyak berdampak terhadap rasio beban pokok penjualan (BPP) dan terhadap pendapatan usaha. Peningkatan harga minyak juga mendorong rasio laba bersih terhadap pendapatan usaha Pertamina menurun.

Kondisi ini disebabkan oleh struktur pendapatan perseroan dan konsistensi kebijakan niaga BBM oleh pemerintah. Terkait struktur pendapatan, selama 10 tahun terakhir sekitar 80% pendapatan BUMN itu dikontribusikan dari penjualan dalam negeri.

Sementara, sekitar 91% penjualan dalam negeri dari aktivitas hilir yang terdistribusi 80 % dari penjualan BBM dan 11 % dari penjualan LPG, Petrokimia, Pelumas, dan produk lainnya.

Struktur pendapatan tersebut menjawab mengapa keuangan Pertamina cukup sensitif terhadap pergerakan harga minyak. Data menegaskan bahwa sebagian besar pendapatan dari hasil penjualan produk kilang baik BBM dan non BBM.

Sementara porsi pendapatan dari segmen usaha hulu yaitu dari penjualan minyak mentah, gas, dan panas bumi selama periode yang sama sekitar 8%–15% dari total pendapatan.

Konsistensi kebijakan niaga BBM oleh pemerintah menjadi penyebab kondisi keuangan Pertamina tampak tidak sebagaimana perusahaan migas pada umumnya. Perpres No. 191/2014 jo Perpres No. 43/2018 menetapkan bahwa yang ditetapkan sebagai jenis BBM bersubsidi adalah minyak tanah (kerosene) dan minyak solar (gas oil).

Untuk minyak tanah, negara akan memberikan subsidi sebesar selisih kurang antara harga jual eceran yang ditetapkan pemerintah dan harga wajar. Untuk minyak solar, negara hanya memberikan subsidi tetap untuk setiap liternya.

Berdasarkan ketentuan itu, harga jenis BBM selain minyak tanah dan minyak solar subsidi menggunakan mekanisme harga wajar. Termasuk harga jual jenis BBM RON 88 (Premium). Regulasi menetapkan Premium sebagai BBM khusus penugasan yaitu pemerintah menetapkan di mana saja wilayah penugasan serta berapa volumenya.

Adapun untuk harganya menjadi domain pelaksana penugasan. Dalam implementasinya pelaksana penugasan, terutama Pertamina tidak dapat fleksibel menyesuaikan harga jual BBM penugasan (Premium). Salah satu indikasinya, meski ICP telah meningkat dari US$45 per barel menjadi US$72,17 per barel, harga jual Premium masih sama, yaitu Rp6.450 untuk setiap liternya.

Pemerinta tidak hanya menetapkan harga jual BBM tertentu (subsidi) tetapi juga menetapkan harga BBM khusus penugasan. Hal ini dapat dilihat dari adanya Kepmen ESDM No. 125.K/HK.02/MEM.M/2021 tentang Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan.

Jika konsisten dengan UU Keuangan Negara, ketika negara menetapkan harganya maka komoditas tersebut harus ditetapkan sebagai komoditas bersubsidi. Artinya, negara harus mengganti penuh selisih harga penetapan dengan harga wajar yang berlaku. Jadi, negara akan menutup kekurangan kepada pelaksana PSO akibat adanya selisih harga tersebut.

Kami mencermati pula Pertamina juga tidak dapat fleksibel untuk menyesuaikan harga BBM non Subsidi. Dalam kondisi tertentu, ia masih memerlukan restu dari pemerintah untuk dapat menyesuaikan BBM dengan merek dagang Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamax Racing, Dexlite, dan Pertamina Dex meski non subsidi.

Alhasil, anomali yang terjadi pada kondisi keuangan Pertamina dalam kaitannya dengan harga minyak adalah akibat kombinasi dari inkonsistensi kebijakan pemerintah dan struktur pendapatan BUMN itu.

Solusinya, tahapan utama yang harus dilakukan adalah mengembalikan konsistensi kebijakan pemerintah, yaitu dengan tegas memisahkan mana administrasi negara yang menjadi domain pemerintah dan mana administrasi usaha yang menjadi domain BUMN

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments