Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2011Harga Minyak dan Ruang Gerak APBN 2011

Harga Minyak dan Ruang Gerak APBN 2011

Komaidi Deputy Director ReforMiner Institute

Media Indonesia,1 April 2011

Kecenderungan kenaikan harga minyak sejak akhir 2010 hingga triwulan pertama 2011, memberikan dampak yang signifikan terhadap postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Beberapa faktor fundamental seperti pemulihan pertumbuhan ekonomi, permintaan minyak yang meningkat, dan kuota produksi minyak yang ditetapkan OPEC, menyebabkan harga minyak sepanjang 2011 diprediksikan berada pada level yang tinggi. Sementara itu, beberapa faktor nonfundamental seperti terjadinya cuaca ekstrem di beberapa belahan dunia dan ketegangan politik di beberapa negara kawasan Timur Tengah, semakin mengerek harga minyak pada level yang lebih tinggi. Mengingat Indonesia telah menjadi net importir (bahkan mengalami defisit neraca perdagangan minyak), kecenderungan kenaikan harga minyak dunia lebih banyak memberikan dampak negatif jika dibandingkan dengan manfaatnya.

Sampai dengan Maret 2011, rata-rata harga minyak dunia jenis WTI dan brent untuk periode 2011 telah mencapai US$90,45 per barel dan US$101,77 per barel. Sementara itu, rata-rata realisasi Indonesian crude price (ICP) hingga Februari 2011 telah mencapai US$100,20 per barel. Artinya, baik rata-rata realisasi harga minyak dunia maupun rata-rata realisasi ICP telah melampaui asumsi harga minyak (ICP) di dalam APBN 2011 yang ditetapkan sebesar US$80 per barel. Dalam konteks anggaran (APBN), realisasi ICP yang lebih besar atau lebih kecil daripada asumsi yang ditetapkan akan berpengaruh terhadap berubahnya postur APBN utamanya menyangkut pos penerimaan migas dan pos subsidi energi.

Berdasarkan konfigurasi asumsi makro migas yang mencakup lifting minyak, ICP, volume BBM dan LPG bersubsidi, subsidi listrik, dan nilai tukar rupiah yang ditetapkan di dalam APBN 2011, setiap kenaikan harga minyak (realisasi ICP yang melebihi asumsi) berdampak terhadap bertambahnya subsidi energi dalam nominal yang lebih besar jika dibandingkan dengan tambahan penerimaan migas akibat kenaikan harga minyak tersebut. Oleh karena itu, kenaikan harga minyak lebih berkorelasi terhadap potensi bertambahnya defisit APBN jika dibandingkan dengan potensi surplus APBN. Terkait dengan hal itu, setiap terjadi kecenderungan kenaikan harga minyak di pasar internasional, pemerintah disibukkan untuk mencari format kebijakan energi (BBM utamanya) yang kompatibel terhadap kecenderungan kenaikan harga minyak di pasar internasional.

Dari sejumlah pilihan kebijakan yang ada, untuk merespons kecenderungan kenaikan harga minyak pada 2011 pemerintah memilih opsi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi yang direncanakan akan diimplementasikan secara bertahap sejak awal 2011. Rencana kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi yang sedianya dimulai awal 2011 dan dilakukan secara bertahap tersebut, hingga kini belum diimplementasikan. Belum siapnya infrastruktur untuk menyalurkan produk pertamax di sejumlah SPBU dan permintaan kajian yang mendalam terhadap biaya–manfaat kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi oleh parlemen kepada pemerintah adalah beberapa pertimbangan diundurnya implementasi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dari rencana semula. Terkait dengan permintaan parlemen bahwa pemerintah diwajibkan melakukan kajian akademis, pemerintah menunjuk tim kajian independen pengaturan BBM yang dilakukan konsorsium tiga Universitas UGM, UI, dan ITB.

Sementara itu, setelah menyelesaikan kajian akademis pengaturan BBM, tim kajian independen yang ditunjuk pemerintah merekomendasikan tiga opsi terkait dengan kebijakan BBM 2011. Opsi yang diusulkan tim kajian pengaturan BBM tersebut meliputi: (1)menaikkan harga premium sebesar Rp500 per liter serta pemberian cashback untuk angkutan umum, (2) menjaga harga pertamax di level Rp8.000 per liter, dan (3)melakukan penjatahan konsumsi premium dengan sistem kendali. Terkait dengan rekomendasi tim kajian independen tersebut, hingga saat ini belum ada satu pun rekomendasi tim kajian independen yang diakomodasi pemerintah. Bahkan terkait dengan rekomendasi tim kajian independen bahwa pemerintah diminta menaikkan harga premium sebesar Rp500 per liter serta pemberian cashback untuk angkutan umum, pemerintah bergegas menyampaikan kepada publik bahwa selama 2011 pemerintah ‘tidak akan’ menaikkan harga BBM.

Sementara itu, dengan asumsi makromigas yang ditetapkan di dalam APBN 2011, penerimaan migas, subsidi energi, dan defisit APBN 2011 berdasarkan simulasi ReforMiner adalah sekitar Rp205,57 triliun, Rp136,61 triliun, dan Rp124,65 triliun. Sementara itu, jika rata-rata harga minyak meningkat hingga mencapai US$100/barel, penerimaan migas, subsidi energi, dan defisit APBN 2011 sekitar Rp256,96 triliun, Rp206,40 triliun, dan Rp143,04 triliun. Artinya, jika harga minyak meningkat hingga rata-rata mencapai US$100/barel, tambahan defisit APBN 2011 adalah sekitar Rp18,40 triliun. Tambahan defisit tersebut karena tambahan subsidi energi yang dibutuhkan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tambahan penerimaan negara dari sektor migas, ketika harga minyak (ICP) lebih besar daripada asumsi yang ditetapkan. Jika rata-rata harga minyak (ICP) mencapai US$100/barel, tambahan subsidi energi yang dibutuhkan sekitar Rp69,79 triliun. Sementara itu, tambahan penerimaan migas akibat kenaikan harga minyak tersebut hanya sekitar Rp51,39 triliun.

Terkait dengan sensitivitas subsidi energi terhadap pergerakan harga minyak cukup besar, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi (apalagi hanya di Jabodetabek) tidak cukup kompatibel terhadap kenaikan harga minyak. Berdasarkan perhitungan ReforMiner Institute, penghematan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi adalah sebagai berikut: (1)pembatasan diterapkan untuk premium di Jabodetabek, potensi penghematan yang akan diperoleh sekitar Rp3,31 triliun; (2)pembatasan diterapkan untuk premium di Jawa-Bali, potensi penghematan yang akan diperoleh sekitar Rp7,25 triliun; (3)pembatasan diterapkan untuk premium dan solar di Jabodetabek, potensi penghematan yang akan diperoleh sekitar Rp3,93 triliun; dan (4)pembatasan diterapkan untuk premium dan solar di Jawa-Bali, potensi penghematan yang akan diperoleh sekitar Rp9,29 triliun. Angka-angka penghematan itu pun didapatkan jika implementasi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi diterapkan sejak Januari 2011. Jika implementasi kebijakan tersebut diundur, nilai penghematan yang akan diperoleh juga akan semakin kecil. Artinya, jika rata-rata harga minyak (ICP) pada 2011 mencapai US$100 per barel, penghematan dari pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dalam berbagai skenario yang memungkinkan dilakukan pemerintah belum mampu untuk menutup tambahan defisit akibat bertambahnya subsidi energi di APBN. Oleh karena itu, jika harga minyak (ICP) terus meningkat, meskipun pahit, menaikkan harga BBM jenis premium atau bahkan menaikkan harga BBM jenis premium dan solar pada nominal tertentu sebagaimana salah satu rekomendasi tim kajian independen, kiranya merupakan pilihan kebijakan yang realistis. Kebijakan penaikan harga BBM tersebut secara legal juga telah dijamin UU APBN 2011. Dalam Pasal 7, ayat (4) UU No 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 disebutkan bahwa, ‘Dalam hal perkiraan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price (ICP)) dalam satu tahun mengalami kenaikan lebih dari 10% dari harga yang diasumsikan dalam APBN 2011, pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi.’ Selain menaikkan harga BBM, memang masih terdapat alternatif kebijakan lain seperti melakukan pembiayaan (utang), penghematan pada pos-pos belanja negara, dan pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan. Akan tetapi, semua pilihan kebijakan tersebut kiranya sulit direalisasikan dalam jangka pendek dan sulit dilakukan karena beberapa faktor pendukung yang kurang memungkinkan. Karena pertimbangan tersebut, tampaknya pemerintah tetap memilih dan akan menjalankan kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Jika pemerintah tetap berkeras menerapkan kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, memilih kebijakan yang mengabaikan rasionalitas ekonomi dan hanya menomorsatukan politis-populis, kiranya akan menjadi semakin mahal ongkos yang akan ditanggung bangsa ini.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments