Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com
Investor Daily: Jumat, 7 September 2018 | 8:26
Setelah ditetapkan sebagai direktur utama Pertamina menggantikan Elia Massa Manik, Nicke Widyawati menyampaikan sejumlah prioritas rencana kerjanya, di antaranya akan mempercepat implementasi campuran bahan bakar biodiesel B-20. Kebijakan B-20 sendiri merupakan mandatory pencampuran bahan bakar nabati (BBN) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) konvensional.
Program B-20 adalah mandatory pencampuran biodiesel ke dalam BBM jenis solar dengan kadar 20%. Mandatori tersebut direncanakan berlaku untuk seluruh sektor pengguna solar. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi impor migas, khususnya impor BBM jenis solar yang semakin lama semakin menggerus devisa. Keseriusan pemerintah mengimplementasikan program B-20 tercermin dari terbitnya Peraturan Presiden No 66 Tahun 2018.
Ditinjau dari sudut pandang makro ekonomi, pelaksanaan program B-20 positif dan memiliki sejumlah manfaat. Implementasi program B-20 akan menghemat sejumlah devisa impor yang selama ini dialokasikan untuk mengimpor BBM jenis solar. Dengan asumsi konsumsi solar tahun 2018 sesuai proyeksi BPH Migas yaitu 25,42 juta kilo liter, kapasitas produksi solar dan produksi biodiesel domestik sesuai kondisi eksisting, dan menggunakan acuan rata-rata harga solar di pasar internasional periode Agustus 2018, implementasi program B-20 akan menghemat devisa impor sekitar US$ 1 miliar setiap tahunnya. Implementasi program B-20 juga memberikan harapan positif bagi petani dan industri kelapa sawit di dalam negeri.
Program ini dapat menambah diversifikasi pasar dan sekaligus menjadi alternatif solusi atas penolakan produk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) hasil produksi Indonesia oleh pasar Eropa dan Amerika Serikat.
Risiko Bisnis Pertamina
Meski positif bagi sejumlah indicator makro ekonomi, implementasi program B-20 juga memiliki potensi dampak yang lain, salah satunya adanya risiko bisnis bagi Pertamina. Risiko bisnis akan muncul jika Pertamina tidak diperbolehkan menaikkan harga BBM jenis solar yang telah dicampur biodiesel atau biosolar pasca implementasi kebijakan ini.
Jika mengacu pada Harga Indeks Pasar (HIP) Bahan Bakar Nabati (Biofuel), diketahui bahwa harga biodiesel lebih mahal dibandingkan dengan harga solar konvensional. Jika nilai tukar rupiah diasumsikan Rp 14.500/ US$, harga biodiesel tercatat sekitar Rp 1.200 lebih mahal dibandingkan harga solar konvensional untuk setiap liternya.
Mengacu pada hasil perhitungan tersebut harga biosolar paling tidak juga sekitar Rp 1.200 lebih mahal dibandingkan harga solar konvensional untuk setiap liternya. Harga dapat lebih tinggi lagi jika proses pencampuran untuk menjadikan biosolar memerlukan biaya tambahan.
Jika mengacu pada proyeksi BPH Migas bahwa konsumsi solar tahun 2018 yang diperkirakan sebesar 25.425.000.000 liter, maka kebutuhan biodiesel yang perlu dicampurkan ke dalam BBM untuk memenuhi target mandatori 20% adalah sekitar 5.085.000.000 liter (20% x 25.425.000.000 liter). Karena itu, jika diasumsikan porsi Pertamina dalam penjualan solar di dalam negeri sekitar 80%, maka biodiesel yang wajib diserap oleh Pertamina adalah sekitar 4.068.000.000 liter.
Mengingat harga biodiesel sekitar Rp 1.200 lebih mahal dibandingkan harga solar konvensional untuk setiap liternya, berdasarkan volume yang wajib diserap tersebut Pertamina harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 4,88 triliun lebih tinggi dibandingkan biaya pengadaan solar konvensional. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan sudah hampir pasti Pertamina akan mengalami potensi kerugian dari bisnis niaga BBM jika pasca implementasi program B-20 Pertamina tidak diizinkan menyesuaikan harga BBM jenis solar.
Pada satu sisi implementasi program B-20 yang berpotensi menghemat devisa impor sekitar US$ 1 miliar adalah positif karena dapat membantu memperbaiki defisit neraca pembayaran Indonesia. Akan tetapi, di sisi yang lain, kebijakan ini juga berpotensi memberikan risiko bisnis bagi Pertamina yang perlu diantisipasi dan disikapi secara hati-hati oleh pemerintah.
Dari hitung-hitungan di atas kertas, potensi penghematan devisa impor dari implementasi program B-20 yang sekitar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,60 triliun tersebut memang tercatat masih lebih besar dibandingkan potensi kerugian yang akan dialami oleh Pertamina. Namun, jika mencermati posisi strategis Pertamina baik dalam aspek fiskal maupun moneter, perhitungan biaya manfaat terhadap kebijakan yang akan diimplementasikan kepada Pertamina seringkali tidak cukup hanya mengacu pada hitung-hitungan di atas kertas tersebut.