Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di Media2019'Impor Memang Membaik, Tapi Defisit Migas RI Masih Akut'

‘Impor Memang Membaik, Tapi Defisit Migas RI Masih Akut’

CNBC Indonesia, 09 July 2019

Presiden Joko Widodo kembali menyinggung soal defisit migas yang masih tinggi.

“Coba dicermati angka-angka ini, kenapa impor begitu sangat tinggi. Migas naiknya gede sekali, hati-hati di migas Pak Menteri ESDM, Bu Menteri BUMN yang terkait dengan ini,” singgung Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (8/7/2019).

Padahal, kalau melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja perdagangan sektor migas periode Mei 2019 tercatat sudah mulai membaik. Namun, bukan berarti defisit migas RI bisa diabaikan begitu saja.

Menurut pengamat migas dan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, kekhawatiran Presiden dalam hal ini benar dan sangat mendasar. Meskipun katakanlah ada data penurunan impor migas, secara fundamental belum tentu menandakan bahwa sudah ada perbaikan mendasar di dalam masalah defisit neraca migas.

“Bisa saja hanya karena penjadwalan impor di periode tertentu,” ujar Pri Agung kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (9/7/2019).

Lebih lanjut, ia mengatakan, defisit migas pada dasarnya adalah masalah struktural, akut, dan terjadinya sudah sejak lama. Tidak perlu kaget sebenarnya karena defisit itu memang masih akan terus terjadi, tidak akan hilang atau menjadi positif dalam waktu singkat hanya karena kebijakan tertentu.

“Dalam bulan atau periode tertentu akan naik signifikan atau kadang-kadang sedikit menurun, itu lebih karena fluktuasi volume ekspor-impor terkait jadwal ekspor-impor dan inventoris minyak mentah dan BBM dalam negeri saja. Lalu juga karena pergerakan harga minyak dan nilai tukar dolar AS,” tambahnya.

Apalagi, lanjutnya, dari segi hulu migas, produksi terus turun, sedangkan di midstream sampai sekarang belum ada penambahan kapasitas kilang yang signifikan, ditambah dari sisi hilir, harga BBM masih ditahan pemerintah.

“Permasalahan mendasar di sektor hulu migas ini yang mestinya ditangani secara struktural, fundamental dan serius oleh pemerintah. Sudah lama kan itu, sejak 2004 sudah nett importer minyak. Sejak 2011 kita juga sudah selalu negatif juga kok dalam neraca perdagangan migas. Hanya tidak diatasi sungguh-sungguh ya makin lama akan makin besar pasti,” jelas Pri Agung.

Untuk itu, solusi yang sebenarnya ya benahi sektor migas secara mendasar. Selesaikan revisi UU Migas, sehingga bisa menarik investasi baik di hulu, maupun midstream untuk pembangunan kilang. Tidak sekedar dengan mendorong kebijakan seperti gross split.

“Solusi-solusi yang ditawarkan sekarang ini seperti B-20, membeli minyak KKKS itu cenderung reaktif saja. Apa tidak ada manfaatnya? Ada, tentu, tapi terbatas dan tidak akan cukup menutup defisit neraca perdagangan migas yg ada. Jadi, intinya, benahi sektor migas secara komprehensif dari hulu-hillir lah,” pungkas Pri Agung. (gus)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments