Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia, Kamis 06 Maret 2014
Opini Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Sugiharto, yang dipublikasikan Bisnis Indonesia (27/2) menunjukkan sektor migas Indonesia saat ini berada pada kondisi krisis.
Kompleksitas permasalahan tidak hanya terjadi pada sektor hulu, tetapi juga pada sektor hilir migas.
Data menunjukkan sektor migas sesungguhnya telah mengalami krisis sudah sejak lama. Dalam 12 tahun terakhir targetlifting minyak yang ditetapkan dalam APBN tidak pernah tercapai.
Bahkan meski telah direvisi melalui APBN perubahan target lifting minyak juga seringkali tetap tidak tercapai.
Menurunnya kinerja sektor hulu migas dalam beberapa tahun terakhir tercermin dari perkembangan jumlah cadangan terbukti dan kemampuan produksi minyak nasional.
Pada era 1990-an cadangan minyak Indonesia tercatat berada pada kisaran di atas 5 milyar barrel. Sedangkan produksi minyak pada saat itu rata-rata sekitar 1,5 juta barrel per hari.
Dengan tingkat konsumsi minyak nasional yang saat itu masih sekitar 800 ribu barrel per hari, kebutuhan minyak nasional relatif masih dapat dipenuhi dari produksi domestik. Jika harus melakukan impor hal tersebut lebih untuk kepentingan mendapatkan jenis minyak yang sesuai dengan spesifikasi kilang domestik.
Pada saat ini cadangan minyak Indonesia menurun menjadi hanya sekitar 3,70 milyar barrel. Kemampuan produksi minyak Indonesia juga tercatat mengalami penurunan signifikan menjadi tinggal kisaran 830 – 850 ribu barrel per hari.
Sementara seiring bertambahnya kapasitas ekonomi dan jumlah kendaraan, konsumsi minyak nasional justru meningkat signifikan menjadi sekitar 1,5 juta barrel per hari.Karena kondisi tersebut dalam beberapa tahun terakhir neraca perdagangan minyak nasional berada pada kondisi defisit.
Defisit neraca perdagangan minyak tercatat terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2009 defisit neraca perdangan minyak nasional tercatat baru sebesar 4,01 milyar USD. Sedangkan pada tahun 2013 telah mencapai 22,47 milyar USD atau meningkat sebesar460 % dalam kurun 4 tahun.
Defisit yang semakin tinggi tersebut karena konsumsi yang terus meningkat dan kapasitas kilang yang terbatas. Terbatasnya kapasitas kilang menyebabkan impor harus dilakukan dalam bentuk produk yang harganya jauh lebih mahal. Sehingga defisit neraca perdagangan semakin tinggi.
Belum Merasa Krisis
Melihat respon kebijakan yang relatif minim, pengambil kebijakan tampaknya belum begitu menyadari bahwa krisis telah terjadi di sektor migas nasional.
Krisis yang telah memberikan dampak signifikan terhadap belanja subsidi energi di APBN dan juga defisit neraca perdagangan tersebut cenderung dianggap hal biasa.
Sikap dan cara pandang pemerintah terefleksikan dalam kebijakan yang diimplementasikan. Sebagai contoh sampai saat ini pemerintah relatif belum memiliki upaya kongrit untuk menyelesaikan permasalahan subsidi BBM.
Padahal permasalahan tersebut hampir selalu berulang dan menjadi masalah klasik di setiap tahun anggaran. Permasalahan tersebut dapat diminimalkan jika pemerintah dapat meningkatkan kinerja sektor hulu migas dan menambah kapasitas kilang nasional.
Akan tetapi sampai sejauh ini kedua solusi tersebut relatif belum menjadi pilihan serius pemerintah.
Untuk kinerja sektor hulu misalnya, meski Instruksi Presiden (Inpres) No.2/2012 menargetkan pencapaian produksi minyak bumi nasional paling sedikit rata-rata 1,01 juta barrel per hari pada tahun 2014, nyatanya target lifting minyak yang ditetapkan pada APBN 2014 jauh di bawah angka tersebut yaitu hanya 870 ribu barrel per hari.
Sejumlah permasalahan sektor hulu khususnya permasalahan non teknis menjadi penyebab utama target lifting pada APBN 2014 tersebut ditetapkan lebih rendah.
Sementara untuk kilang, perkembangan kapasitas kilang Indonesia tercatat relatif stagnan. Pada tahun 2005 kapasitas kilang Indonesia sekitar 1,05 juta barrel per hari.
Sampai dengan tahun 2012 kapasitas kilang Indonesia hanya meningkat menjadi 1,14 juta barrel per hari. Sedangkan kapasitas kilang negara-negara di Asia Pasifik justru meningkat signifikan dari 23,53 juta barrel per hari pada tahun 2005 menjadi 30,11 juta barrel per hari pada 2012.
Sampai saat ini ketergantungan pasokan energi domestik terhadap sektor migas cukup besar. Data yang ada menunjukkan porsi migas dalam bauran energi nasional masih sekitar 70 – 75 % terhadap total pasokan energi nasional.
Karena itu jika krisis terjadi pada sektor migas tentu akan memberikan dampak besar bagi ketahanan energi, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan.
Dalam beberapa tahun terakhir dengan tingkatan yang berbeda hal tersebut sebenarnya sudah terjadi. Ketika terjadi kelangkaan pasokan migas dan/atau ada rencana penyesuaian harga migas telah menyebabkan keresahan sosial dan guncangan ekonomi.
Penulis hanya berharap semoga pemerintah dan pemangku kepentingan segera menyadari bahwa telah terjadi krisis pada sektor migas nasional.
Dengan fakta cadangan minyak dan gas Indonesia masing-masing hanya sekitar 0,20 % dan 1,60 % terhadap cadangan minyak dan gas dunia, terdapat pekerjaan rumah besar bagi bangsa ini untuk menyediakan keberlanjutan pasokan energi di masa mendatang.
Apalagi Indonesia termasuk dalam wilayah Asia Pasifik yang mana konsumsi minyak dan gas di kawasan tersebut telah jauh di atas kemampuan produksinya.
Dalam beberapa tahun terakhir terdapat pergeseran penguasaan migas dari International Oil Company (IOC) kepadaNational Oil Company (NOC).
Sejumlah negara mengoptimalkan BUMN mereka guna menjaga keberlanjutan pasokan energi negaranya masing-masing.
Data yang ada menunjukkan sebagian besar (80 %) cadangan minyak dan gas dunia saat ini dikuasai oleh BUMN.
Tanpa harus mengesampingkan peran perusahaan swasta yang ada selama ini, dalam upaya menjaga keberlanjutan pasokan energi semestinya pemerintah perlu memprioritaskan BUMN seperti yang dilakukan oleh negera-negara yang lain.
Tanpa harus melalui kajian akademis yang kompleks sekalipun, sebenarnya sudah hampir pasti jika kapasitas BUMN semakin besar manfaatnya juga akan kembali dan dinikmati oleh bangsa kita sendiri.