Investordaily, 21 September 2020
Komaidi Notonegoro : Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Saat ini peran batu bara dalam pasokan listrik nasional cukup signifikan. Ber dasarkan data yang ada, total kapasitas pembangkit listrik nasional per Februari 2020 sekitar 69,6 GW. Dari jumlah tersebut, sekitar 34,37 GW (49,9%) di antaranya merupakan PLTU atau pembangkit listrik yang umumnya menggunakan energi primer batu bara.
Porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik nasional untuk beberapa tahun ke depan kemungkinan akan semakin meningkat. Hal tersebut mengingat dari total tambahan kapasitas pembangkit sekitar 56,4 GW yang direncanakan dalam RUPTL 2019-2028, sekitar 27,06 GW atau 48 % di antaranya adalah PLTU.
Data menunjukkan tahun 2019 realisasi kebutuhan batu bara un tuk PLTU yang dioperasikan PLN sekitar 97,72 metrik ton. Jika mengacu pada RUPTL 2019-2028, kebutuhan batu bara PLN diproyeksikan terus meningkat dan menjadi sekitar 152,63 juta metrik ton pada 2028.
Kebutuhan batu bara untuk kelistrikan nasional tentu lebih besar dari nilai tersebut jika mengingat PLTU tidak hanya dioperasikan PLN tetapi juga pembangkit listrik non-PLN atau indepent power producer (IPP).
Kebijakan Harga
Terbitnya Kepmen ESDM No 261 K/30/MEM/2019 tentang Pemenuhan Batubara Dalam Negeri Tahun 2020 menegaskan bahwa batu bara memiliki peran penting tidak hanya bagi keberlanjutan pasokan listrik tetapi juga harga jual listrik di dalam negeri. Salah satu poin penting yang diatur dalam regulasi tersebut adalah harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik ditetapkan sebesar US$ 70 per metrik ton. Kebijakan tersebut untuk menjaga BPP listrik tetap terkendali agar pemerintah tidak perlu menaikkan harga jual listrik untuk masyarakat.
Sebelum regulasi tersebut terbit, pemerintah telah menerbitkan Kepmen ESDM No 1395 K/30/ MEM/2018 dan Kepmen ESDM No 1410 K/30/MEM/2018 yang secara substansi mengatur hal yang sama, yaitu mengenai harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga lstrik untuk kepentingan umum.
Kepmen ESDM tersebut merupakan aturan pelaksana dari sejumlah regulasi yang secara hierarki berada di atasnya, seperti PP No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen No 7/2018 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral dan Batubara, dan Pemern ESDM No 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sampai dengan saat ini biaya penyediaan listrik dari batu bara tercatat sebagai salah satu yang paling murah. Statistik PLN 2019 menyebutkan bahwa rata-rata biaya operasi yang meliputi biaya bahan bakar, biaya pemeliharaan, penyusutan, beban bunga, biaya pegawai, dan biaya lain-lain untuk pembangkit batu bara (PLTU) sebesar Rp 653,12 per kWh. Biaya tersebut lebih rendah dari rata-rata biaya operasi pembangkit yang menggunakan energi primer BBM (PTLD) sebesar Rp 3.308,26 per kWh dan biaya operasi pembangkit yang menggunakan gas (PLTG) Rp 2.570,03 per kWh.
Jika dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar BBM dan gas, seluruh komponen biaya operasi untuk pembangkit PLTU pada 2019 tercatat lebih rendah. Biaya energi primer atau bahan bakar, misalnya, rata-rata biaya yang diperlukan untuk memproduksi listrik dari batu bara adalah Rp 445,85 per kWh.
Sedangkan rata-rata biaya bahan bakar untuk memproduksi listrik dari BBM dan gas pada tahun yang sama masing-masing Rp 2.454,32 per kWh dan Rp 1.908,93 per kWh.
Untuk tahun 2019, rata-rata porsi biaya energi primer atau bahan bakar terhadap total biaya pembangkitan sekitar 75%. Berdasarkan porsi tersebut, penyediaan listrik dengan biaya bahan bakar yang lebih murah secara umum akan menghasilkan total biaya operasi penyediaan listrik yang lebih rendah. Karena biaya bahan bakar berupa batu bara relatif lebih murah dibandingkan energi fosil yang lain, maka secara keseluruhan biaya penyediaan listrik dari batu bara juga menjadi lebih murah.
Relatif lebih murahnya biaya penyediaan listrik dari batu bara salah satunya karena batu bara untuk penyediaan listrik diberikan harga khusus sebesar US$ 70 per metric ton, yang notabene lebih rendah dari harga pasar. Jika kebijakan harga khusus batu bara untuk listrik tidak lagi diberlakukan, hampir dapat dipastikan biaya penyediaan listrik dari batu bara akan lebih mahal dibandingkan biaya saat ini. Tingkat kemahalannya akan ditentukan oleh seberapa besar selisih antara harga khusus batu bara dan harga pasar yang berlaku ketika harga khusus untuk listrik ditiadakan.
Mencermati kondisi tersebut, pemerintah kiranya perlu menimbang dan mengkaji ulang apakah kebijakan pemberian harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik masih perlu dilaksanakan atau sudah mengharuskan adanya alternative dan transisi kebijakan.
Dengan mencermati sejumlah aspek, penghentian kebijakan harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik pada dasarnya hanya soal waktu. Kebijakan pemberian harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik dapat dilaksanakan saat ini kemungkinan karena volume batu bara yang harus diberikan harga khusus relative masih dalam batas toleransi pelaku usaha.
Kemungkinan yang lain, volume batu bara untuk pembangkit listrik yang harus diberikan harga khusus masih dapat dipenuhi dari hasil produksi BUMN yang notabene dapat diintervensi oleh pemerintah.
Akan tetapi, dalam beberapa tahun ke depan ketika sejumlah proyek pembangkit batu bara termasuk proyek-proyek dalam 35.000 MW beroperasi, kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik kemungkinan akan meningkat signifikan dan tidak cukup mengandalkan pasokan dari BUMN.
Ketika sudah melibatkan produsen batu bara non-BUMN di dalam pemenuhannya, pemerintah kemungkinan akan relatif lebih sulit untuk tetap dapat melaksanakan kebijakan harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik. Apalagi jika nantinya kebutuhan dan harga batu bara di pasar internasional semakin meningkat.
*) Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti