Thursday, November 21, 2024
HomeReforminer di Media2024Ini Penyebab Pemanfaatan Panas Bumi Belum Jadi Prioritas dalam Kebijakan Transisi Energi...

Ini Penyebab Pemanfaatan Panas Bumi Belum Jadi Prioritas dalam Kebijakan Transisi Energi di RI

Kompas.com; 13 Juni 2024

JAKARTA, KOMPAS.com – Industri panas bumi berpotensi dapat memainkan peran penting dalam proses transisi dan ketahanan energi nasional. Tapi, saat ini pemanfaatan panas bumi belum jadi prioritas pemerintah dalam kebijakan transisi energi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute membeberkan, panas bumi RI penting posisinya lantaran potensi sumber dayanya saat ini disebut mencapai 23.765,5 MW atau sekitar 40 persen total potensi panas bumi global. Menurut dia, industri panas bumi Indonesia dapat menjadi tulang punggung untuk mewujudkan ketahanan energi dan ekonomi nasional.

Hal itu karena panas bumi memiliki peran penting untuk dapat membantu merealisasikan target NZE 2060 dan pelaksanaan kebijakan ekonomi hijau. Baca juga: Pengembangan Panas Bumi Jadi Pekerjaan Rumah buat RI, DEN Sebut Strategi Monetisasinya

“Meskipun peran penting dan potensi manfaatnya telah diketahui bersama, pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih berjalan lambat,” kata Komaidi melalui keterangannya, Kamis (13/6/2024). Berdasarkan data, selama 2017-2023 kapasitas terpasang panas bumi hanya meningkat sekitar 789,21 MW.

Sejak mulai diusahakan pada 1980an sampai dengan akhir 2023, total kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi Indonesia dilaporkan baru mencapai sekitar 2.597,51 MW, atau baru sekitar 10,3 persen dari total potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia. Baca juga: PLN Indonesia Power Kebut Proyek Energi Panas Bumi ReforMiner mencatat sejumlah kelebihan energi panas bumi sebagai energi baru dan terbarukan (EBT).

Salah satunya, sumber energi panas bumi terbebas dari risiko kenaikan harga energi primer seperti yang terjadi pada energi fosil pada umumnya. Karena relatif terbebas dari risiko kenaikan harga, pemanfaatan energi panas bumi dapat membantu menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional. Kemudian, biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) tercatat sebagai salah satu yang termurah.

Berdasarkan Statistik PLN 2022, rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi tercatat berada jauh di bawah rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional. Rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional pada tahun 2022 dilaporkan sebesar Rp 1.473/kWh. Sementara rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) pada tahun yang sama adalah sebesar Rp 118,74/kWh atau sekitar 8,60 perse dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi berpotensi memberikan manfaat positif terhadap kondisi makro moneter Indonesia. “Dengan asumsi rata-rata harga minyak mentah 100 dollar AS per barrel, konversi seluruh PLTD di Indonesia dengan menggunakan energi panas bumi (PLTP) dapat menghemat devisa impor migas sekitar 6,07 miliar dollar AS untuk setiap tahunnya,” papar Komaidi. “Penghematan tersebut akan memberikan manfaat positif terhadap kondisi neraca perdagangan dan peningkatan nilai tukar rupiah,” lanjutnya.

Alasan panas bumi belum jadi prioritas

Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, berdasarkan dokumen kebijakan yang ada, panas bumi tampak belum menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi. RUPTL 2021 – 2030 menetapkan target tambahan pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) sampai tahun 2030 adalah 20,9 GW. Sekitar 66 persen dari target tambahan kapasitas tersebut akan berasal dari PLTA dan PLT Surya masing – masing sebesar 9,2 GW dan 4,6 GW.

Sementara kapasitas pembangkit panas bumi direncanakan hanya akan bertambah sekitar 3,4 GW atau 16 persen dari total tambahan pembangkit EBET. “Relatif sama dengan RUPTL 2021 – 2030, target pemanfaatan panas bumi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga tampak tidak menjadi prioritas utama. Penambahan kapasitas pembangkit EBET dalam dokumen KEN difokuskan pada pembangkit bioenergi, PLTA dan PLT Surya,” kata Komaidi.

Sampai dengan tahun 2050, kapasitas pembangkit dari ketiganya ditargetkan masing – masing sebesar 26 GW, 38 GW dan 45 GW. Sementara pada periode yang sama kapasitas pembangkit listrik panas bumi ditargetkan sebesar 17,5 GW.

ReforMiner menilai, relatif belum dijadikannya sumber energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya. Berdasarkan review terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi oleh pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia, di antaranya sebagai berikut: (1) risiko kegagalan eksplorasi; (2) risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi; (3) hambatan regulasi dan tatakelola (PJBL, TKDN, perizinan, kepemilikan aset, ketidaksesuaian insentif pemerintah dengan kebutuhan pengembang) ; (4) kebutuhan modal awal yang cukup besar; (5) durasi pengembangan relatif lama; dan (6) lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.

“Sejumlah kendala tersebut menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia dinilai masih cukup relatif mahal,” kata Komaidi.

Negara yang berhasil turunkan harga EBT panas bumi Permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara yang lain pada dasarnya juga relatif sama dengan permasalahan yang dihadapi di Indonesia. Tapi, dengan terobosan kebijakan yang dilakukan, sejumlah negara tercatat berhasil mendorong harga listrik panas bumi menjadi kompetitif bahkan lebih murah dari rata-rata BPP listrik nasional negara yang bersangkutan. Sejumlah negara yang tercatat telah berhasil mendorong harga energi panas bumi antara lain Amerika Serikat; Kenya; Iceland; New Zealand; dan Mexico. Kenya dan Iceland tercatat sebagai negara yang cukup serius dalam mengembangkan dan mengusahakan energi panas bumi.

Porsi produksi listrik panas bumi dari Kenya dan Iceland pada tahun 2023 masing-masing mencapai 29 persen dan 26 persen dari total produksi listrik mereka. Porsi EBT dalam bauran produksi listrik Kenya dan Iceland pada tahun 2023 masing-masing adalah 80 persen dan 96 persen terhadap total produksi listrik nasional mereka. Philipina juga tercatat menjadi negara yang cukup serius dalam pengembangan dan pengusahaan energi panas bumi.

Meskipun harga listrik panas bumi di Philipina tercatat masih lebih tinggi dari rata-rata BPP listrik nasional, perkembangan listrik panas bumi di negara tersebut cukup signifikan. Kapasitas terpasang listrik panas bumi Philipina pada tahun 2023 dilaporkan mencapai 48 persen dari total sumber daya panas bumi yang mereka miliki. Berbeda dengan Kenya dan Iceland, sekitar 74 persen listrik Philipina diproduksikan dari pembangkit berbasis fosil, 43 persen di antaranya dari PLTU.

“Mengingat ketersediaan sumber daya yang besar dan sejumlah potensi manfaat yang akan diperoleh, memformulasikan dan mengimplementasikan terobosan kebijakan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi perlu dilakukan oleh para stakeholder pengambil kebijakan,” ujar Komaidi. “Sejumlah terobosan kebijakan yang dilakukan oleh Kenya, Iceland, dan Philipina yang telah terbukti berhasil meningkatkan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi pada masing-masing negara tersebut kiranya dapat dijadikan sebagai lesson learn untuk pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia,” pungkasnya.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments