Studi ReforMiner menemukan bahwa potensi sumber daya panas bumi Indonesia mencapai 28.170 MW atau setara dengan 40 % potensi panas bumi dunia. Potensi panas bumi tersebut bahkan lebih besar dibandingkan dengan kapasitas pembangkit PT PLN (Persero) yang pada tahun 2010 sebesar 26.895 MW. Namun demikian, meski memiliki potensi yang besar, pengembangan panas bumi nasional masih relatif tertinggal dibandingkan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara lain. Sebagai perbandingan, pada tahun 2010, kapasitas terpasang panas bumi di negara-negara seperti New Zealand, Jepang, Amerika, dan Philipina, masing-masing telah mencapai 17,44 %, 27,80 %, 48,48 %, dan 73,23 %, terhadap total potensi panas bumi yang dimilikinya. Sedangkan pada periode yang sama, kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia baru sekitar 4,25 % terhadap potensinya.
Bisnis pengusahaan dan pengembangan panas bumi di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, potensial untuk dikembangkan.Kondisi itu didasarkan pada permintaan (konsumsi) listrik Indonesia yang semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang ada, pada kurun waktu 2002 – 2010 produksi listrik nasional mengalami peningkatan rata-rata sebesar 5,78 % per tahun. Permintaan atau konsumsi listrik nasional sesungguhnya lebih besar dari pertumbuhan kemampuan produksi listrik tersebut. Akan tetapi, dengan kemampuan produksi yang masih terbatas, tidak semua permintaan tenaga listrik dapat dipenuhi.
Sementara itu, peningkatan permintaan (konsumsi) tenaga listrik nasional cenderung berbanding lurus dengan besarnya alokasi anggaran subsidi listrik di APBN. Itu dikarenakan harga jual tenaga listrik (TDL) yang ditetapkan oleh pemerintah masih lebih rendah dibandingkan dengan biaya pokok pengadaan tenaga listrik. Pada sisi produksi, ketergantungan yang cukup besar terhadap energi fosil, menyebabkan biaya pengadaan listrik sensitif terhadap perubahan harga energi fosil. Jika harga BBM, gas, dan batubara meningkat, biaya pengadaan listrik juga meningkat. Mengingat harga tenaga listrik ditetapkan oleh pemerintah dan tidak bergerak mengikuti pola biaya pengadaan, akibatnya peningkatan biaya produksi berbanding lurus dengan anggaran subsidi listrik yang dibutuhkan.
Pada kondisi tersebut, jika pengusahaan listrik dari gas dan batubara telah dimanfaatkan secara optimal, panas bumi dapat pilihan bagi pemerintah sebagai menurunkan biaya pokok pengadaan (BPP) tenaga listrik nasional. Dengan biaya produksi yang 2 – 3 kali lebih murah dibandingkan pengadaan listrik dengan BBM, pengusahaan listrik panas bumi dapat mengakomodasi upaya pemerintah untuk meningkatkan pasokan listrik nasional dan menurunkan beban subsidi listrik di APBN.
Akan tetapi, meski pengembangan dan pengusahaan panas bumi memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan, hingga saat ini pengembangannya masih dihadapkan pada beberapa kendala. Berdasarkan kajian yang dilakukan, khususnya dengan melihat perbandingan di negara-negara lain, ReforMiner mengidentifikasi kendala-kendala utama yang menghambat pengembangan panas bumi di tanah air adalah sebagai berikut: (1) kurang (tidak) adanya insentif pengusahaan yang diberikan oleh pemerintah; (2) belum adanya kesepakatan harga listrik panas bumi antara penjual dan pembeli (PLN);(3) izin penggunaan kawasan hutan masih bermasalah; (4) belum adanya kepastian kontrak penjualan listrik panas bumi ke PLN (Electricity Sales Contact – ESC). dan (5) masih banyak ijin yang dibutuhkan setelah IUP terbit (rekomendasi AMDAL dari Gubernur, Izin Penggunaan Air Tanah dan Air Permukaan, Izin Lokasi dari Gubernur/Bupati, Izin Pinjam Pakai Lahan dari Kementerian Kehutanan, Izin Masuk Kawasan Hutan untuk Kegiatan Eksplorasi & Eksploitasi, Izin Tebang Pohon dari Dinas Kehutanan).
Berbeda dengan pengembangan panas bumi di negara-negara lain, meskipun dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang relatif sama dengan permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia, namun sebagai upaya menyelesaikan permasalahan yang ada, pemerintah di negara-negara lain menerapkan kebijakan dan memberikan insentif agar pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negaranya dapat dilaksanakan dengan optimal.
Dari studi yang dilakukan, ditemukan bahwa Kebijakan pengembangan dan pengusahaan panas bumi yang diterapkan di negara-negara lain pada dasarnya tidak hanya mengikat bagi produsen (investor) namun juga bersifat mandatory bagi konsumen. Selain menerapkan kebijakan yang bersifat wajib dan mengikat,pemerintah di negara-negara lain juga memberikan berbagai insentif baik bagi konsumen maupun produsen yang ikut terlibat aktif dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi. Beberapa insentif pengembangan dan pengusahaan panas bumi yang umumnya diberikan oleh pemerintah di negara-negara lain adalah: (1) keringanan pajak; (2) pembebasan bea impor barang-jasa terkait pengusahaan panas bumi; (3) pemberian subsidi; (4) pemberian pinjaman lunak; (5) penyediaan dana riset dan pengembangan yang ditanggung oleh pemerintah; dan (6) memberikan kemudahan perizinan usaha bagi investor.
Terkait dengan adanya beberapa permasalahan tersebut, agar pengembangan dan pengusahaan panas bumi nasional dapat dijalankan dengan optimal, diperlukan kebijakan terobosan dan intervensi pemerintah diantaranya dalam hal kemudahan/penyederhanaan perizinan; dan dalam hal kesepakatan harga listrik panas bumi. Sebagai konsekuensi dari keputusan dan penetapan harga panas bumi tersebut mengharuskan pemerintah mampu menjadi fasilitator dan menjembatani kepentingan investor dan pembeli (PLN).
Sehingga dengan kebijakan harga listrik panas bumi tersebut, pilihan rumusan kebijakan fiskal dalam bentuk pemberian subsidi (melalui dana APBN) terhadap selisih harga yang mampu dibeli oleh PLN dengan harga yang ditawarkan oleh pengembang panas bumi, dan/atau memberikan insentif dalam bentuk pembebasan kewajiban pajak dan pungutan-pungutan lain kepada investor terkait pengembangan dan pengusahaan panas bumi selama durasi waktu tertentu adalah pilihan kebijakan yang tampaknya harus segera direalisasikan oleh pemerintah. Kesegeraan pemerintah dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan fiskal tersebut adalah faktor penting dan sekaligus merupakan kunciuntuk mendorong dan mempercepat optimalisasi pengembangan dan pengusahaan panas bumi di tanah air.