Investor.id; 22 September 2022
JAKARTA, investor.id – Komitmen mendorong pemanfaatan energi hijau kerap mengalami kendala karena besarnya biaya investasi yang dibutuhkan. Alhasil potensi energi hijau yang melimpah di Indonesia tidak belum bisa dimanfaatkan maksimal.
Direktur Promosi Wilayah ASEAN, Australia, Selandia Baru dan Pasifik BKPM Sarimbua Siahaan mengakui, potensi investasi hijau di Indonesia sangat luar biasa. Pemerintah, kata dia, sangat concern membuat sistem perijinan investasi agar investor yang tertarik di bidang dalam mengembangkan ekonomi hijau.
“Jadi Pemerintah benar-benar memikirkan dampak lingkungan. Tren investasi hijau, sektor-sektor di ekonomi hijau ini harus benar-benar kita kawal agar investornya bisa berinvestasi dengan nyaman,” papar Sarimbua dalam Acara “Potensi Investasi Hijau dan Desain Insentif Yang Atraktif” yang diselenggarakan BKPM bekerja sama dengan Majalah Investor di Jakarta pada Rabu (21/9).
Meski dipermudah dari sisi perizinan, realisasi investasi untuk pengembangan ekonomi hijau ternyata tidak mudah. Direktur dan Group Chief Investment Officer PT Indika Energy Tbk Purbaja Pantja mengatakan tantangan pelaku usaha dalam bidang ekonomi hijau yakni terkait pendanaan dan TKDN.
“Dari sisi pendanaan ini, banyak sekali bisnis-bisnis yang kami lakukan ini “lapar” dengan pendanaan. It’s capex heavy terutama hal-hal berkaitan dengan renewable energy. Kemudian mengenai TKDN itu suatu hal yang menarik buat kami terutama di motor listrik karena itu sangat-sangat berkaitan dengan bisnis kita ke depan,” ujar Purbaja.
Meski sebelumnya pemerintah memberikan insentif berupa tax allowance bagi perdari 40% untuk penggunaan komponen lokal. Meski demikian, berbagai kebijakan insentif tersebut belum cukup mampu mendongkrak investasi untuk ekonomi hijau.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan investasi hijau punya karakter berbeda. Pada level investasi untuk energi terbarukan, ada problem ketidakstabilan pasokan. “Kalau energi fosil, pembangkit listrik bisa operating 24 jam penuh. Sementara PLTS misalnya, di dalam satu hari produksinya 4-6 jam, sementara kita punya waktu 24 jam sehingga kita perlu back up,” terang Komaidi.
Pada kondisi seperti ini, menurut Komaidi, insentif dari pemerintah diperlukan agar harga jual tidak cenderung mahal. Insentif juga bisa dipertimbangkan dengan realokasi anggaran subsidi. Hal ini dibutuhkan jika dikaikan dengan pertumbuhan GDP Indonesia yang komponen terbesarnya pada sisi konsumsi.
Faktor konsumsi itu sangat elastis dengan daya beli yang juga berkaitan dengan cost structure di sektor produksi. “Kalau cost structure-nya tidak ada insentif kemudian akan mahal. Kalau itu dibebankan kepada konsumen maka daya belinya akan turun. Dan ini yang terjadi pada kenaikan BBM bersubsidi (yang diikuti) kompensasi,” terang Komaidi.
Lebih Komaidi menuturkan, investasi hijau atau EBT ini perlu intervensi semua pihak, selain karena mahal dari sisi biaya juga tergolong barang baru. “Sebelumnya Pak Jokowi dan Ibu Sri Mulyani beberapa kali menyampaikan message Indonesia perlu bantuan dari luar negeri kalau memang targetnya perlu dipercepat di dalam pencapaian net zero emisi,” katanya.
Ia juga membenri contoh insentif investasi energi terbarukan di beberapa negara. “Misalnya di Brazil untuk kendaraan triple bahan bakar misalnya pakai BBG, bensin dan energi terbarukan itu ada insentif pembebasan pajak BPKB selama lima tahun. Pembuatan STNK juga diberikan potongan,” katanya.
Hal itu, lanjut Komaidi membutuhkan kebijakan lintas sektor dan mudah-mudahan itu bisa kita adopsi. Bila ingin memajukan EBT, Komaidi menegaskan perlunya komunikasi dan edukasi publik yang masif. “Masyarakat harus diberitahu ini di dalam jangka panjang kita perlu moving karena keanekaragaman EBT kita sangat luar biasa potensinya,” kata Komaidi.
“Pilihan EBT kita punya cadangan terbesar itu panas bumi, kita punya 30GW dan dari 30GW itu hanya sekitar 2000-an yang sudah dikembangkan artinya dibawah 10%,” kata Komaidi. Komaidi menyarankan kedepannya agar Pemerintah merealokasi subsidi energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT).