Sindonews.com; 18 September 2025
JAKARTA – Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menyoroti tantangan besar dalam upaya menambah cadangan dan meningkatkan produksi minyak dan gas (migas) di Indonesia. Menurutnya, hambatan utama adalah minimnya investasi eksplorasi, yang disebabkan oleh tingginya risiko kegagalan pengeboran yang harus ditanggung sepenuhnya oleh investor.
Komaidi mengungkapkan, berdasarkan data rata-rata beberapa tahun terakhir, porsi investasi untuk kegiatan eksplorasi hanya berkisar 6-9 persen dari total investasi hulu migas nasional. Angka ini dinilai sangat jauh di bawah negara tetangga, Malaysia, di mana investasi eksplorasi dapat mencapai 20-28 persen dari total.
“Problemnya ada di investasi eksplorasi kita yang sangat terbatas. Kenapa terbatas? Karena risikonya cukup besar di sana,” ujar Komaidi dalam acara SindoNews Sharing Session di iNews Tower Jakarta, Kamis (18/9).
Ia menjelaskan salah satu faktor penghambat utama adalah sistem production sharing contract (PSC) yang berlaku di Indonesia. Dalam sistem ini, jika investasi eksplorasi tidak menghasilkan temuan cadangan baru, seluruh kerugian menjadi tanggungan pihak investor, bukan negara.
Komaidi menambahkan, problem ini semakin diperparah dengan kondisi badan usaha milik negara (BUMN) yang ditugaskan dalam kegiatan eksplorasi. “Problemnya, sebagian besar tugas ini sudah melekat di Pertamina atau BUMN. BUMN itu, kalau sampai gagal, itu termasuk merugikan negara. Kalau merugikan negara, pakai rompi kuning (korupsi),” tambahnya.
Menurutnya, dalam bisnis hulu migas, keberanian mengambil risiko adalah kunci untuk menambah cadangan dan meningkatkan produksi. Namun, minimnya eksplorasi dalam beberapa tahun terakhir berimbas langsung pada lambatnya pertumbuhan cadangan migas di Indonesia. “Ketika tidak berani mengambil risiko, maka tidak akan berjalan ke mana-mana. Jadi wajar jika cadangan dan produksi tidak bertambah karena eksplorasinya pun tidak bertambah,” pungkas Komaidi.