Kontan.co.id, 6 November 2019
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute & Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti
Email    : komaidinotonegoro@gmail.com
HP         : 081 553 133 252
Kapasitas kilang masih akan menjadi kunci utama dalam mewujudkan kemandirian energi Indonesia. Saat ini porsi minyak dan gas dalam bauran energi primer Indonesia sekitar 72 persen. Sampai beberapa tahun ke depan, bauran energi Indonesia kemungkinan masih tetap didominasi oleh pasokan minyak dan gas, terutama produk-produk dari kilang minyak.
Pemenuhan pasokan energi untuk konsumen utama seperti sektor transportasi, sektor industri, dan rumah tangga sebagian besar berasal dari produk kilang. Porsi produk kilang dalam bauran energi sektor transportasi selama tahun 2018 sekitar 99,90 persen. Sementara porsi produk kilang dalam bauran energi sektor industri dan rumah tangga masing-masing 13,06 persen dan 50,59 persen.
Terkait bauran energi tersebut, terobosan kebijakan Pertamina sebagai perusahaan energi utama di dalam negeri yang menetapkan melaksanakan Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR) kilang relevan dengan kondisi dan permasalahan yang ada. Dengan RDMP pada Kilang Balikpapan, Kilang Dumai, Kilang Balongan dan Kilang Cilacap serta GRR pada Kilang Tuban dan KIlang Bontang, kapasitas kilang Indonesia akan bertambah signifikan.
Jika program RDMP dan GRR Pertamina berjalan sesuai rencana, kapasitas kilang Indonesia yang saat ini sekitar 1 juta barel per hari akan meningkat dua kali lipat menjadi 2 juta barel per hari pada tahun 2026 mendatang. Peningkatan tidak hanya terjadi pada sisi kuantitas, namun juga pada kualitas. Produk BBM kilang Indonesia yang saat ini rata-rata masih sesuai standar EURO II akan meningkat menjadi standar EURO V. Pencapaian ini sudah dimulai ketika Proyek Langit Biru Cilacap (PLBC) selesai. Melalui program PLBC, Kilang Cilacap akan memproduksi Pertamax yang sudah masuk standar EURO IV sekitar 66 persen lebih banyak dari sebelumnya.
Bio-Refinery dan Struktur Biaya
Mengacu pada tren global, kebutuhan energi ke depan akan mengalami transisi kepada penggunaan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Terbitnya Perpres No.55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, merupakan salah satu upaya Pemerintah Indonesia di dalam merespon tren global tersebut.
Seperti pengembangan energi baru dan terbarukan di berbagai negara yang pada umumnya hampir selalu sulit bersaing dengan pengembangan energi konvensional (fosil), pengembangan kendaraan listrik kemungkinan juga tidak akan mudah untuk dapat bersaing dengan industri kendaraan bermotor eksisting yang menggunakan bahan bakar fosil (BBM dan BBG). Harga jual kendaraan listrik akan menjadi penentu apakah kendaraan bermotor listrik akan mampu bersaing dengan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil atau tidak. Sementara, berdasarkan sejumlah informasi yang ada, saat ini biaya produksi kendaraan bermotor listrik sekitar 1,5 – 2 kali lebih tinggi dibandingkan biaya produksi kendaraan bermotor berbahan bakar BBM dan BBG.
Jika mencermati perbandingan biaya produksi dan karakteristik sebagian besar konsumen kendaraan bermotor di Indonesia, kebijakan meningkatkan kualitas bahan bakar kemungkinan akan lebih optimal untuk menyelesaikan isu lingkungan dibandingkan pengembangan kendaraan bermotor listrik. Sejumlah studi menemukan, selain masalah harga jual, pengembangan kendaraan listrik juga dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti memerlukan daya dukung produksi listrik yang lebih besar, penyediaan infrastruktur pengisian ulang beterei secara masif, dan pengelolaan limbah baterai yang sudah tidak terpakai.
Berdasarkan kondisi yang ada tersebut, kebijakan RDMP dan GRR Pertamina yang tidak hanya meningkatkan kuantitas produksi tetapi juga kualitas BBM yang dihasilkan kemungkinan sudah dapat untuk mengakomodasi penyelesaian isu lingkungan. Apalagi berdasarkan informasi yang ada Pertamina juga berencana membangun Green Refinery yang terintegrasi dengan kilang eksisting di Plaju, Dumai dan Balikpapan. Ketiga wilayah tersebut dipilih berdasarkan kedekatan dengan lokasi sumber bahan baku yaitu CPO. Pilihan tersebut diantaranya karena sekitar 50 % biaya produksi bahan bakar pada bio-refinery di Indonesia adalah biaya angkut CPO.
Berdasarkan sejumlah studi dan pilot project di sejumlah negara, biaya produksi pada bio-refinery lebih tinggi dibandingkan biaya produksi traditional refinery. Konsekuensinya, harga jual produk bio-refinery seperti green diesel, green gasoline, dan green avtur kemungkinan akan lebih mahal dibandingkan harga jual diesel, gasoline, dan avtur konvensional. Hal tersebut salah satunya karena kualitas produk yang dihasilkan lebih tinggi yang mana emisi dari produk bio-refinery seperti SO2, NOx, dan CO lebih rendah dibandingkan emisi dari produk yang dihasil traditional refinery.
Tanpa mengesampingkan makna dan niat baik dari kebijakan pengembangan mobil listrik, kebijakan RDMP, GRR, dan Green Refinery yang dilaksanakan Pertamina dapat dikatakan memiliki manfaat yang lebih luas, tidak hanya positif untuk menyelesaikan isu lingkungan tetapi juga memberikan manfaat untuk ketahanan energi dan nilai tambah ekonomi yang besar bagi Indonesia. Melalui RDMP dan GRR yang akan meningkatkan kualitas produk BBM dari EURO II menjadi EURO V secara tidak langsung akan memperbaiki kualitas dan menyelesaikan isu lingkungan. Apalagi jika kebijakan tersebut dikombinasikan dengan pengembangan bio-refinery.
Dari aspek kemandirian dan ketahanan energi, proyek RDMP dan GRR yang akan mendorong kapasitas kilang dari saat ini 1 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari, memiliki makna penting dan posisi yang strategis. Produksi BBM Indonesia yang saat ini 600 ribu barel per hari menjadi 1.700 ribu barel per hari. Program tersebut juga berpotensi meningkatkan produksi petrokimia dari saat ini 600 sekitar 600 ribu ton per tahun menjadi 6.600 ribu ton per tahun.
Kebijakan pengembangan kilang melalui RDMP, GRR, dan Green Refinery berpotensi memberikan manfaat ekonomi yang besar. Mandatori kebijakan TKDN dalam proyek pengembangan kilang diproyeksikan akan berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja langsung maupun tidak langsung sekitar 172 ribu orang dan menambah penerimaan pajak selama beroperasi sekitar 109 miliar USD. Peningkatan kapasitas kilang akan mengurangi volume impor produk BBM yang diproyeksikan dapat menghemat devisa impor sekitar 12 milyar USD per tahun.