Watyuntik.com, 27 November 2018
Penulis: Komaidi Notonegoro,
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Pemerintah terpantau telah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Dalam APBN tersebut besaran subsidi energi ditetapkan sebesar Rp156,50 triliun, lebih tinggi dari APBN 2018 tetapi lebih rendah dari outlook subsidi energi 2018 yang diproyeksikan mencapai kisaran Rp163,50 triliun.
Anggaran subsidi energi dalam APBN 2019 tersebut terdistribusi Rp100,10 triliun untuk subsidi BBM dan LPG 3 Kg dan Rp56,50 triliun untuk subsidi listrik. Sama seperti pada tahun anggaran 2018, jenis BBM yang diberikan subsidi pada 2019 adalah Solar dan Minyak Tanah.
Nominal subsidi Solar dan Minyak Tanah pada APBN 2019 ditetapkan sebesar Rp32,49 triliun. Alokasi anggaran tersebut digunakan untuk mensubsidi 14,50 juta kilo liter Solar dan 610 ribu kilo liter Minyak Tanah. Subsidi Solar diberikan dengan mekanisme subsidi tetap, Rp2.000 untuk setiap liternya. Sementara subsidi Minyak Tanah dilakukan dengan membayar selisih antara harga subsidi dan harga non subsidi.
Mengacu pada postur APBN 2019 tersebut, tidak terdapat alokasi anggaran subsidi untuk BBM jenis Premium. Dengan demikian kebijakan harga BBM jenis Premium masih akan tetap sama dengan tahun anggaran sebelumnya, yaitu ditetapkan sebagai BBM Khusus Penugasan yang tidak lagi disubsidi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Perpres No.191/2014.
Perpres tersebut membagi BBM menjadi tiga jenis, BBM tertentu, BBM khusus penugasan, dan BBM umum. Pasal 3 ayat (2) Perpres ini menetapkan bahwa Premium atau Bensin (Gasoline) Ron minimum 88 sebagai BBM khusus penugasan. Dalam hal ini BBM khusus penugasan adalah BBM yang didistribusikan di wilayah penugasan dan tidak diberikan subsidi.
Sejak ditetapkan sebagai jenis BBM khusus penugasan, trend konsumsi Premium tercatat menurun. Pada 2016 realisasi konsumsi Premium tercatat turun menjadi 10,61 juta kilo liter dari sebelumnya tercatat sebesar 14,89 juta kilo liter pada 2015. Pada 2017, sejalan dengan upaya penghapusan Premium secara bertahap, realisasi konsumsi Premium turun signifikan menjadi 7,04 juta kilo liter.
Akan tetapi, pasca pemerintah merevisi Perpres 191/2014 dengan Perpres No.43/2018 upaya penghapusan BBM jenis Premium yang tampak sudah mulai berhasil, kemungkinan akan kembali pada titik awal lagi. Melalui Perpres No.43/2018 tersebut pemerintah meminta pelaksana penugasan kembali menyediakan BBM jenis Premium untuk wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) yang dimulai sejak Juni 2018. Sejak saat itu konsumsi Premium meningkat kembali yang mana sampai dengan akhir 2018, total konsumsinya diproyeksikan mencapai sekitar 12 juta kilo liter.
Pemerintah menyampaikan bahwa keputusan untuk menyediakan kembali Premium di wilayah Jamali adalah untuk meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah. Kenaikan harga minyak dunia mendorong harga BBM dengan kualitas di atas Premium meningkat melebihi daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Karena itu pemerintah menilai perlu untuk menyediakan kembali Premium di wilayah Jamali. Penyediaan Premium tersebut juga dimaksudkan untuk mendukung kegiatan mudik lebaran pada saat itu.
Keuangan Pelaksana Penugasan
Berdasarkan kebijakan harga Premium dan trend konsumsinya, keuangan pelaksana penugasan Premium pada 2019 berpotensi akan tertekan. Dari sisi harga, meskipun tidak lagi diberikan subsidi, harga Premium masih diintervensi atau ditetapkan oleh pemerintah. Sementara dari sisi konsumsi, dengan disediakan kembali di wilayah Jamali, konsumsi Premium kembali meningkat signifikan.
Jika mengacu pada asumsi makro energi APBN 2019 yaitu harga minyak/ICP ditetapkan 70 dolar AS per barel dan nilai tukar rupiah Rp14.400 per dolar AS, diketahui terdapat selisih antara harga keekonomian Premium dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan simulasi ReforMiner, jika mengacu pada asumsi tersebut selisih harga keekonomian Premium dengan harga penetapan pemerintah kurang lebih sekitar Rp2.000 untuk setiap liternya.
Mencermati kondisi bahwa trend konsumsi Premium kembali meningkat dan terdapat selisih harga antara harga penetapan dan harga keekonomian, potensi terjadinya tekanan pada keuangan pelaksana penugasan kemungkinan tidak dapat dihindarkan. Jika konsumsi Premium pada 2019 mendatang diasumsikan sama dengan proyeksi 2018 tersebut, paling tidak akan terdapat sekitar Rp24 triliun beban keuangan yang harus ditanggung oleh pelaksana penugasan.