Bisnis.com; 3 April 2024
Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau harga gas murah untuk industri dinilai dapat menghambat pengembangan infrastruktur transmisi dan distribusi gas. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berpendapat program harga gas murah itu justru membuat kemampuan finansial atau arus kas dari badan usaha usaha hilir gas terkontraksi untuk berinvestasi lebih masif pada infrastruktur midstream gas.
“Dampaknya ke pengembangan infrastruktur untuk transmisi dan distribusi yang dilakukan oleh PGN itu bisa terhambat,” kata Komaidi saat dihubungi, Selasa (2/4/2024).
Ihwal kontraksi arus kas itu, Komaidi mengatakan, saat ini rata-rata harga gas yang dibeli PGN dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk pelanggan di wilayah barat telah lebih dari US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu) di kepala sumur.
Sementara biaya angkut di titik serah pengguna gas atau plant gate sudah mencapai di rata-rata US$9 per MMBtu. Di sisi lain, pemerintah meminta PGN untuk menekan harga sampai di level US$6 per MMBtu.
“Jadi ada defisit yang cukup lebar dari korporasi, kalau itu dibayar tidak secara langsung nanti bermasalah dengan arus kas apalagi kalau tidak dibayar itu pasti jadi berat itu,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan potensi penerimaan bagian negara yang hilang dari kebijakan HGBT sepanjang 2023 mencapai lebih dari US$1 miliar atau minimal sekitar Rp15,67 triliun (asumsi kurs Rp15.667 per dolar AS).
Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan, potensi hilangnya pendapatan negara itu masih hitung-hitungan awal dan perlu rekonsiliasi lanjutan. Hilangnya pendapatan negara yang cukup besar itu dibarengi dengan pengembalian sejumlah kontrak volume dan gas ke perjanjian jual beli gas (PJBG) awal sebelum beleid HGBT terbit pertama kali lewat Kepmen ESDM No.89/2020.
“Kalau saya mencatat mungkin jumlahnya di 2023 ini bisa mencapai lebih dari US$1 miliar ada potensi penurunan penerimaan negara atau penyesuaian penerimaan negara,” kata Kurnia saat webinar, Rabu (28/2/2024) Lewat beleid teranyar Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM/2023, HGBT tidak lagi dipatok US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu). Sebagian industri saat ini mendapat penyusutan alokasi volume dan harga gas bisa di level tertinggi US$7 per MMBtu.
Secara berturut-turut, Kementerian ESDM telah mencatat pengurangan bagian negara dari program gas murah industri ini mencapai Rp29,39 triliun selama 2021 dan 2022. Bagian negara yang hilang itu turun rata-rata sebesar 46,81% selama dua periode program itu berjalan.
Kendati demikian, Kurnia menerangkan, serapan HGBT sepanjang 2023 telah naik ke level sekitar 96%. Artinya, ada peningkatan penerima insentif gas murah itu yang cukup signifikan dibandingkan penyaluran 2021 dan 2022.
Sepanjang 2021, jumlah penyerahan harian pasokan gas bumi untuk sektor industri sebesar 87,06% dari alokasi saat itu 1.241,01 BBtud, sementara penyaluran gas pada 2022 melorot ke level 81,38% dari alokasi volume sebesar 1.253,81 BBtud. “Ada juga faktor ketidakcukupan bagian negara atau meng-kept-whole-kan bagian kontraktor, kebijakan HGBT ini berjalan di tengah-tengah 2020-2021 sebenarnya sudah ada harga awal PJBG yang disepakati,” kata Kurnia.
Adapun, pemerintah mengurangi penerimaannya pada Wilayah Kerja (WK) Sebuku, Muara Bakau & WK Rapak, WK NSO dan WK Ketapang sepanjang 2021. Sementara pada 2022, pemerintah mengurangi penerimaannya untuk WK Tangguh dan WK Ketapang. Pengurangan penerimaan negara itu sebagai konsekuensi dari aturan kept whole contractor yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Pemerintah mesti memastikan tidak adanya pengurangan penerimaan kontraktor dari program HGBT.