Media Indonesia, 22 Maret 2010
JAKARTA MI:A�Ketidakjelasan alokasi produksi gas dinilai menjadi faktor utama yang membuat defisit pasokan gas industri nasional saat ini. Di saat bersamaan, pemerintah terkesan lamban dalam mengambil keputusan terkait orientasi potensi gas yang ada seperti dalam memutuskan peruntukkan gas proyek Donggi Senoro, Sulawesi Tengah, serta tidak terbuka dengan hasil renegosiasi harga jual gas Tangguh, Papua, ke Fujian China.
Bahkan di saat darurat, manakala PT Perusahaan Gas Negara (persero) Tbk harus memangkas 20% pasokan untuk industri manufaktur dan menghentikan 25% pasokan gas untu PLTGU Muara Tawar, solusi yang diberikan pemerintah dalam rakor gas (Jumat, 19/3) lalu) bersifat jangka pendek dan masih jauh dari kebutuhan.
Selain hanya memberi tambahan pasokan 70 MMSCFD (23,33%) dari seluruh defisit nasional yang mencapai 300 juta metric standar kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/MMSCFD), solusi tersebut juga hanya bersifat sesaat karena tidak adanya jaminan kelangsungan pasokan.
Dari total tambahan pasokan 50 MMSCFD, 20 MMSCFD hanya akan dipasok oleh PT Pertamina Hulu Energi Offshore Northwest Java (ONWJ) untuk 3 bulan saja, dari April hingga Juni mendatang. Jadi tinggal mengandalkan pasokan dari Lapangan Singa Blok Lematang Sumatera Selatan Milik Medco EP sebanyak 50 MMSCFD (40 MMSCFD menurut konfirmasi dari pihak Medco).
Sementara pasokan 295 dari ConocoPhillips (sesuai kontrak dengan PGN) masih akan dibicarakan sehingga belum bisa dipastikan terpenuhi seluruhnya, akibat adanya alokasi hingga 100 MMSCFD untuk keperluan produksi minyak Chevron di Duri, Riau.
Hal seperti itu terjadi karena sinergi antar BUMN dan pemerintah masih lemah. Akibat salah kelola, antara hulu dan hilir berjalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi, ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, kepada Media Indonesia, Minggu (21/3).
Menurut Pri Agung, upaya penanggulangan sesaat seperti itu juga turut menunjukkan masing-masing pihak menunjukkan ego institusi yang muncul karena pemerintah tidak tegas menerapkan kebijakan yang menyelaraskan program antar BUMN itu. Mestinya fungsi pemerintah untuk mengarahkan dan menjembatani antar BUMN yang memproduksi migas (hulu) dengan BUMN yang mendistribusikan dan menjual migas (hilir) itu harus jalan. Paling tidak antar BUMN yang berada di bawah kementerian ESDM harus bisa bersinergi dalam program-programnya, tutur Pri Agung.
Dalam pandangan pengamat energi, Kurtubi, defisit seperti ini akibat dari tidak adanya ketegasan pemerintah dalam tata kelola sektor migas nasional. Sekian lama Indonesia mengekspor gas namun hingga kini belum memiliki infrastuktur penerima dan pengubah gas alam cair (storage and regasification liuid natural gas/ LNG).
Ini ironis karena justru menjadi penyebab kebutuhan domestik tidak bisa terpenihi, defisit terus. Kita hanya punya kilang untuk produksi LNG yang semuanya diekspor, ujar Kurtubi.
Padahal imbuhnya, kalau ada terminal penerima dan pengubah LNG tersebut, dalam kondisi seperti ini, gas alam bisa diambil dari Kilang Badak di Bontang, Kalimantan Timur atau Kilang Tangguh di Papua. Daripada menunggu proses renegosiasi harga jual LNG Tangguh ke Fujian China yang hingga kini tidak ada kabar beritanya, lebih baik gas dari sana dipakai untuk kebutuhan dalam negeri. Namun apa daya kalau tidak ada kilang penerimanya , ujar Kurtubi.
Karena itu, kondisi defisit ini, imbuh Kurtubi, akan terus berlangsung sampai fasilitas terminal terapung penyimpan dan pengolah LNG (floating storage and regasification terminal/FSRT) milik Pertamina dan PGN di Teluk Jakarta, bisa beroperasi menjelang akhir 2011. Untuk saat ini, kondisi megap-megap gas bakal terus berlangsung, tukasnya.
Kalaupun nanti fasilitas tersebut sudah beroperasi, ia berharap pemerintah tidak serta merta berorientasi impor LNG dengan alasan gas alam yang ada sudah terikat komitmen ekspor. Alihkan saja gas dari Tangguh yang renegosiasinya tidak jelas itu untuk kebutuhan domestic. Masa kita rela menjual gas hanya US$3,35 per juta metric british thermal unit (MMBTU) sementara konsumen di dalam negeri harus membeli di atas kisaran US$5 per MMBTU. Lebih baik kita putus kontrak dengan resiko diarbitrasekan, paling kena denda, namun kita mampu memenuhi kebutuhan domestic sehingga pertumbuhan ekonomi nasional tidak terganggu gara-gara defisit gas, ujarnya.
Dengan alokasi gas dari Tangguh ini saja, kebutuhan gas nasional untuk pabrik pupuk, pembangkit listrik dan industri akan terpenuhi setiap tahunnya. Untuk penghasil devisa biarkkan LNG dari Kilang Bontang yang diekspor karena harganya bagus di kisaran US$13 per MMBTU. Atau bisa juga gas dari Donggi Senoro, namun tetap dengan catatan haarganya minimal harus menyamai LNG dari Kilang Bontang dan alokasikan kewajiban pasok domestic (domestic market obligation/DMO) antara 25%-30%, papar Kurtubi.
Karena itu, ia berharap pemerintah segera memutuskan peruntukkan gas Donggi Senoro termasuk juga menunjuk operator untuk Kilang LNG di ladang gas Sulawesi tengah itu. Kalau mau memaksimalkan keuntungan dan ingin membesarkan perusahaan migas nasional, seharusnya Pertamina yang menjaadi operator disana. Kalaupun mau diekspor seluruhnya, bisa saja. Untuk kewajiban pasokan domestiknya bisa menggunakan mekanisme pasokan silang (swap) dari LNG Tangguh, pungkas Kurtubi. (Jaz/OL-7)