Investor.id; 20 November 2020
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti
Rencana kebijakan penghapusan BBM RON rendah, yaitu bensin RON 88 atau dalam merek dagang lebih dikenal sebagai Premium, ramai diperbincangkan. Sejumlah informasi menyebutkan pemerintah berencana tidak lagi menyediakan Premium di wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) efektif mulai 1 Januari 2021 mendatang. Meskipun sudah ramai menjadi diskusi publik, berdasarkan pencermatan, pemerin tah tampak belum sepenuhnya satu suara terkait rencana kebijakan tersebut.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK menyampaikan telah bertemu Direktur Operasi PT Pertamina (Persero) dan menyebutkan bahwa per 1 Januari 2021 Pertamina akan meniadakan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali.
Sementara itu, Dirjen Migas yang memiliki kewenangan terhadap hal tersebut menyampaikan belum bertemu dan berkoordinasi dengan pihak KLHK.
Kewenangan Kebijakan
Berdasarkan ketentuan UU Minyak dan Gas Bumi maupun aturan pelaksanaannya yang di antaranya Perpres No 191/2014 j.o Perpres No.43/2018 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, kewenangan penyediaan dan pendistribusian BBM termasuk kewenangan meniadakan jenis BBM tertentu melekat pada pemerintah.
Sementara itu, Pertamina dan badan usaha yang lain hanya berperan sebagai pelaksana penugasan dan/atau pelaksana PSO yang ditetapkan oleh pemerintah. Mengacu pada ketentuan tersebut, pelaksanaan penghapusan BBM jenis Premium sepenuhnya akan ditentukan oleh konsistensi pemerintah di dalam melaksanakan rencana kebijakan yang telah ditetapkan. Namun berdasarkan rekam jejak, pemerintah tidak cukup konsisten di dalam melaksanakankebijakan penyediaan dan pendistribusian BBM jenis Premium.
Melalui ketentuan pasal 3 ayat (3) Perpres No 191/2014, pemerintah menetapkan bahwa sejak 31 Desember 2014 BBM jenis Premium tidak lagi didistribusikan di wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Akibat kebijakan tersebut, pemerintah berhasil mengurangi konsumsi BBM jenis Premium dari 29,70 juta KL pada 2014 menjadi sekitar 7 juta KL pada 2017.
Akan tetapi, ketika konsumsi telah berhasil diturunkan, justru sejak 24 Mei 2018 melalui Perpres No 43/2018 pemerintah kembali menyediakan dan mendistribusikan BBM jenis Premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Akibatnya, konsumsi BBM jenis Premium yang sudah sempat menurun menjadi sekitar 7 juta KL pada 2017 kembali meningkat menjadi sekitar 12 juta KL pada 2019. Konsumsi Premium berpotensi terus meningkat jika permintaan penambahan kuota yang disampaikan oleh sejumlah wilayah dipenuhi oleh pemerintah pusat.
Rencana penghapusan BBM jenis Premium pada dasarnya memiliki basis yang cukup kuat. Penggunaan BBM Premium yang notabene sebagai bensin RON 88 tidak memenuhi ketentuan regulasi di bidang lingkungan, yaitu Permen KLHK No P20/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O. Ketentuan pasal 3 ayat (2) Permen KLHK tersebut menetapkan bahwa BBM jenis bensin yang diperbolehkan untuk digunakan adalah minimal memiliki RON 91. Ditinjau dari aspek penggunanya, saat ini jumlah negara yang menggunakan BBM jenis RON 88 semakin sedikit.
Berdasarkan data, saat ini hanya ada 7 negara yang menggunakan BBM RON 88, yaitu Bangladesh, Uzbekistan, Ukraina, Mongolia, Colombia, Mesir, dan Indonesia. Negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Singapura sudah sejak lama tidak menggunakan BBM RON 88, bahkan mereka sudah cukup lama menggunakan BBM dengan RON minimal 91.
Relatif terbatasnya jumlah Negara yang menggunakan BBM RON 88 menyebabkan ketersediaan data BBM jenis tersebut relative terbatas. Dampaknya, pengguna BBM RON 88 tidak memiliki basis data dan informasi yang cukup mengenai harga BBM RON 88 yang dapat digunakan sebagai referensi di dalam proses pengadaannya.
Ketika harga referensi sebuah produk relatif terbatas, maka potensi penyimpangan dalam proses pengadaannya semakin besar. Karena itu, penghapusan Premium berpotensi dapat meningkatkan aspek transparansi dalam proses pengadaan BBM di Indonesia.
Penghapusan BBM jenis Premium juga dapat mendorong kebijakan pengelolaan dan pengusahaan BBM di Indonesia menjadi lebih baik. Pemisahan administrasi negara dan administrasi usaha yang dijalankan oleh pelaksana penugasan dapat dilakukan dengan lebih baik. Berdasarkan ketentuan Perpres No 191/2014 j.o Perpres No 43/2018, BBM RON 88 atau Premium ditetapkan sebagai BBM Khusus Penugasan.
Dalam hal ini BBM Khusus Penugasan adalah BBM yang didistribusikan di wilayah penugasan dan tidak diberikan subsidi. Ketentuan “tidak diberikan subsidi†tersebut menjadi pintu masuk tercampurnya administrasi Negara dan administrasi usaha. Dalam implementasinya, meskipun tidak lagi diberikan subsidi, pelaksana penugasan BBM RON 88 tidak diberikan kewenangan untuk dapat menetapkan harga seperti kewenangan di dalam menetapkan harga BBM non-subsidi.
Kebijakan penetapan harga BBM Khusus Penugasan tetap dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam tingkatan ter tentu, meskipun pelaksana penugasan diberikan ruang untuk dapat mengusulkan besaran harga, persetujuan dan penetapan harga BBM Khusus Penugasan tetap berada di tangan pemerintah.
Dalam implementasinya, dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat, pemerintah seringkali menetapkan harga jual BBM Khusus Penugasan di bawah harga keekonomiannya. Karena tidak lagi diberikan subsidi, selisih harga penetapan dan harga keekonomian dari BBM Khusus Penugasan dibebankan kepada pelaksana penugasan (Pertamina).
Dalam hal ini selisih harga yang berdasarkan ketentuan UU Keuangan Negara seharusnya diberikan subsidi dan menjadi beban negara (pemerintah) kemudian digeser menjadi beban pelaksana penugasan.
Berdasarkan sejumlah permasalahan yang ada tersebut, rencana kebijakan penghapusan BBM RON rendah (BBM jenis Premium) dapat berpotensi memberikan dampak positif tidak hanya terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup tetapi juga positif terhadap kebijakan pengelolaan dan pengusahaan BBM.
Dalam hal ini, yang tidak kalah penting dari semua itu adalah konsistensi pemerintah di dalam melaksanakan rencana kebijakan yang telah ditetapkan. Inkonsistensi kebijakan penyediaan dan pendistribusian BBM RON 88, seperti dalam contoh kasus re visi Perpres No 191/2014 dengan Perpres No 43/2018, justru menim bulkan ketidakpastian di dalam kegiatan usaha penyediaan BBM, memunculkan biaya tambahan dalam penyediaan BBM, dan dapat menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi.