Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di Media2021Kementerian ESDM finalisasi insentif untuk hilirisasi batubara

Kementerian ESDM finalisasi insentif untuk hilirisasi batubara

Kontan.co.id; 18 November 2021

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah memfinalisasi insentif untuk hilirisasi batubara. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko mengungkapkan, pemberian insentif sebagai dukungan pemerintah untuk kelayakan ekonomi dan mempercepat hilirisasi batubara.

Sayangnya, rencana pemberian insentif ini bukanlah hal baru. Wacana pemberian insentif telah dikemukakan sejak tahun 2020 lalu. Kendati demikian, hingga saat ini pemberian insentif masih terganjal.

“Terkait insentif, satu yang dari Ditjen minerba itu royalti 0%. Ini sudah tahap finalisasi (dengan) Kementerian Keuangan untuk data-data yang dibutuhkan,” kata Sujatmiko dalam Diskusi Virtual, Kamis (18/11).

Sujatmiko menjelaskan, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan telah menyepakati pemberian insentif ini. Kendati demikian, memang masih diperlukan tambahan data pendukung. Sayangnya, Sujatmiko tak merinci data-data yang kini masih diperlukan.

Adapun, sejumlah insentif yang masih berproses yakni insentif pemberian royalti hingga 0%  untuk batubara yang diolah dalam skema gasifikasi. Kedua, formula harga khusus batubara untuk gasifikasi. Ketiga, masa berlaku Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai umur ekonomis proyek gasifikasi.

Sujatmiko menjelaskan, dua insentif lainnya tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan pasokan batubara dengan harga sesuai keekonomian proyek dan perpanjangan operasi bagi pelaku usaha.

Merujuk data Kementerian ESDM, ada sejumlah proyek hilirisasi yang kini tengah berlangsung.

Proyek coal gasification terdiri dari tiga proyek yakni coal to methanol project oleh PT Kaltim Prima Coal (PT Bumi Resources-Ithaca Group-Air Product) dengan estimasi rampung pada 2024 mendatang. Proyek yang berlokasi di Kalimantan Timur ini diharapkan akan menghasilkan 1,8 juta ton methanol per tahun. Proyek ini kini dalam tahapan finalisasi Feasibility Study (FS) detail proyek serta pembukaan lahan.

Selanjutnya, proyek coal to DME oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina dan Air Product yang berlokasi di Tanjung Enim Sumatera Selatan dengan estimasi beroperasi di 2024 mendatang. Proyek yang ditargetkan memproduksi 1,4 juta ton DME per tahun ini kini masih dalam finalisasi kerjasama dan skema bisnis proyek serta perhitungan optimasi biaya DME.

Kedua proyek tersebut pun telah ditetapkan menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN).

Kemudian, proyek coal to methanol oleh PT Arutmin Indonesia dengan estimasi rampung pada 2025 mendatang. Proyek dengan produksi mencapai 2,8 juta ton methanol per tahun ini dalam tahapan pra -FS.

Satu proyek lainnya yakni underground coal gasification yang masih dalam skala pilot project yang dilakukan di Proyek UCG PT Kideco Jaya Agung, Proyek UCG PT Indominco di Kalimantan Timur dan PT Medco Energi Mining International dan Phoenix Energi Ltd di Kalimantan Utara.

Sujatmiko melanjutkan, berdasarkan data tahun 2020 maka sumber daya batubara mencapai 144 juta ton dengan cadangan sebesar 38,8 miliar ton. “Dengan asumsi produksi per tahun sebesar 600 juta ton maka kecukupan cadangan sekitar 65 tahun,” jelas Sujatmiko.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, langkah transisi energi dan mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) perlu dilakukan secara bijak.

Menurutnya, jika merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) maka ketergantungan pada energi fosil masih berlangsung hingga 2050 mendatang.

Komaidi melanjutkan, kebutuhan batubara dalam negeri mencapai sekitar 150 juta ton dimana mayoritas menyuplai kebutuhan sektor listrik. Peralihan menuju EBT berpotensi memberi dampak pada aspek fiskal.

“Produksi (batubara) sempat menyentuh kisaran 600 juta ton artinya ada 450 juta yang kita ekspor. Konteks ini yang perlu kita hati-hati karena ada devisa, pajak dan tenaga kerja. Ada beberapa aspek yang mungkin hilang kalau kita move ke EBT,” jelas Komaidi.

Komaidi menilai, kehadiran proyek-proyek hilirisasi batubara pun belum tentu dapat menyerap seluruh produksi batubara dalam negeri.

Komaidi melanjutkan, upaya transisi energi perlu dipikirkan secara bijak. Selain resiko fiskal, pemerintah perlu berkaca pada krisis energi yang terjadi di sejumlah negara Eropa beberapa waktu lalu.

Dari kejadian tersebut, tercermin betapa masih bergantungnya sejumlah negara pada energi fosil yang lebih bisa diandalkan ketimbang EBT.

Selain itu, langkah pemerintah mempercepat rencana pensiun PLTU juga perlu mempertimbangkan banyak hal khususnya pendanaan yang besar. “Untuk satu tahun, kebutuhan untuk bailout 1 GW pembangkit butuh dana sekitar Rp 5 triliun. Dampaknya bukan hanya ke ekonomi, tapi ke fiskal, APBN,” pungkas Komaidi.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments