Kontan; 02 Oktober 2020
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja alias omnibus law, Kementerian ESDM ingin mengambil alih kewenangan dalam menetapkan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa alias toll fee. Saat ini, kewenangan toll fee berada di tangan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi trader gas melalui pipa atau Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) pun memberikan catatan atas pengaturan toll fee tersebut.
Menurut Ketua INGTA Eddy Asmanto, penentuan tarif toll fee untuk ruas pipa baru oleh BPH Migas dilakukan cukup terbuka dengan melibatkan masukan dari stakeholders, seperti regulator, operator, badan usaha pengguna, dan KPPU. “Sejauh ini penetapan tarif toll untuk ruas-ruas baru cukup fair,” kata Eddy saat dihubungi Kontan.co.id, Jum’at (2/10).
Namun untuk ruas-ruas pipa gas yang pembangunannya sudah lama, INGTA meminta adanya koreksi, lantaran sudah terdepresiasi. “Dan operator tinggal menikmati keuntungan,” sambungnya.
Seandainya pengaturan terkait toll fee dialihkan dari BPH Migas ke Kementerian ESDM, Eddy menyampaikan bahwa hal tersebut sejatinya tidak menjadi persoalan, dengan catatan mekanismenya masih seperti yang ada saat ini.
Selain itu, jika pengalihan kewenangan tersebut terjadi, Eddy meminta agar pengguna atau shipper tidak lagidibebani dengan iuran yang selama ini dibayarkan kepada BPH Migas. “Selama ini dirasakan cukup membebani shipper,” ujar Eddy.
Jika toll fee tetap menjadi kewenangan BPH Migas, Eddy meminta agar biaya iuran bisa kembali ditekan. “Pengurangan iuran BPH sudah dilakukan, tapi tidak signifikan,” sebutnya.
Dihubungi terpisah, Pengamat migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto berpandangan bahwa dengan atau tanpa pengalihan kewenangan toll fee, hal tersebut tidak akan berdampak signifikan. “Tidak terlalu prinsipil sebenarnya apakah itu menjadi kewenangan BPH atau KESDM, karena fungsinya sama-sama pengaturan. Itu kan lebih berhubungan dengan pengaturan tata kelembagaan,” ungkap Pri.
Yang terpenting ialah penyempurnaan pengaturan terkait izin badan usaha hilir migas, seperti izin usaha untuk niaga gas dan transmisi distribusi gas melalui pipa. Menurut Pri, hal tersebut lebih penting untuk mencegah munculnya trader yang memiliki hak alokasi dan niaga gas, tetapi tidak memiliki fasilitas infrastruktur.
Sedangkan menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, yang mesti diperhatikan dalam tata niaga hilir ialah agar tidak terjadi tumpang tindih antara Direktorat Hilir Ditjen Migas Kementerian ESDM dengan BPH Migas.
“Ke ESDM atau BPH, yang penting clear. Tidak ada tumpang tindih kewenangan. Sehingga para pelaku usaha juga akan lebih mudah di dalam melakukan perencanaan,” ujar Komaidi.
Penyempurnaan aturan
BPH Migas sendiri mengklaim telah melakukan sejumlah perbaikan dalam pengaturan toll fee. Komite BPH Migas Jugi Prajogio menyampaikan bahwa pihaknya sudah menerbitkan Peraturan BPH Migas Nomor 34 Tahun 2019. Beleid tersebut merupakan penyempurnaan aturan toll fee yang keempat, setelah dilakukan mulai tahun 2005, 2008, 2013 dan 2019.
“Itu bertujuan untuk mendapatkan toll fee yang efisien namun tetap memenuhi keekonomian badan usaha transporter,” kata Jugi ke Kontan.co.id, Jum’at (2/10).
Beberapa poin penting yang diatur dalam aturan terbaru itu adalah keterlibatan konsultan pengawas investasi dalam menetapkan nilai basis aset, serta masa perhitungan depresiasi minimal 16 tahun. “Ini juga akan membuat toll fee lebih efisien,” sambung Jugi.
Adapun, saat ini toll fee rata-rata tertimbang dari 60 ruas yang dikelola oleh BPH Migas ialah sebesar US$ 0,353 per mscf.