Faiz Noufal
Peneliti ReforMiner Institute
Indonesia Finance Today, 6 Oktober 2011
Pada akhir September 2011, Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) menyetujui usulan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait besaran subsidi listrik untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 total sebesar Rp 45 triliun. Artinya, subsidi listrik turun sekitar Rp 20 triliun dari APBN-P 2011 yang sebesar Rp 65,48 triliun.
Menegaskan apa yang telah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus 2011 dalam nota keuangan RAPBN 2012, usulan subsidi listrik dengan total Rp 45 triliun dari Kementerian ESDM ini didasarkan pada asumsi perhitungan dengan perkiraan total Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik ditambah dengan margin usaha untuk PT PLN Persero yang akan sebesar Rp 176,0 triliun.
Sedangkan perkiraan total penerimaan penjualan listrik dari pelanggan akan sebesar Rp 135,5 triliun, yang selisih keduanya sebesar Rp 40,5 triliun. Kemudian ditambah kekurangan pembayaran subsidi pada 2010 berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sebesar Rp 4,5 triliun, total subsidi listrik pada 2012 nanti akan sebesar Rp 45 triliun.
Dengan metode dan pola penghitungan subsidi listrik yang sama, penurunan subsidi yang signifikan ini tentunya disertai dengan catatan. Salah satu catatan yang menarik perhatian publik yaitu mulai 1 April 2012 Tarif Dasar Listrik naik 10%, kecuali untuk pelanggan golongan tidak mampu (450 volt ampere), sehingga penerimaan penjualan listrik dari pelanggan diperkirakan sebesar Rp 135,5 triliun.
Dari simulasi perhitungan yang dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII pada 29 September 2011, jika nantinya tarif dasar listrik tidak dinaikkan, subsidi listrik 2012 akan sebesar Rp 49,34 triliun, ditambah dengan kekurangan pembayaran pada tahun anggaran 2010. Jika tarif dasar listrik dinaikkan 10%, maka subsidi listrik 2012 akan sebesar Rp 40,5 triliun ditambah dengan kekurangan pembayaran pada tahun anggaran 2010. Dengan menaikkan tarif dasar listrik berarti akan didapat potensi penghematan fiskal dari subsidi listrik 2012 sekitar Rp 9 triliun.
Pemerintah berargumen kebijakan kenaikan tarif dasar listrik sebesar 10% telah mempertimbangkan hasil kajian dari Universitas Gadjah Mada yang menunjukkan kemampuan bayar golongan pelanggan selain 450 Volt Ampere berada di atas Rp 729 per kilowatt hour, tarif yang berlaku saat ini.
Sedangkan berdasarkan hasil kajian Universitas Indonesia, tambahan inflasi yang akan timbul dari dampak kenaikan tarif dasar listrik sebesar 10% akan berada pada kisaran 1,06% hingga 1,49% dan dampak terhadap daya saing dalam negeri tidak signifikan.
Sebuah Prioritas
Sebagian kalangan tentunya sudah memahami bahwa tingginya Biaya Pokok Penyediaan Listrik PLN sangat dipengaruhi oleh besarnya biaya bahan bakar yang saat ini porsinya sebesar 65,2% dari Biaya Pokok Penyediaan Listrik internal PLN (tanpa memasukkan pembelian tenaga listrik dari swasta/IPP dan bunga pinjaman).
Dari besaran porsi biaya bahan bakar itu, (berdasarkan laporan keuangan PLN kuartal I tahun 2011) sebanyak 63,9% didominasi oleh biaya bahan bakar minyak. Padahal jika dilihat dari porsi energy mix, keseluruhan pembangkit-pembangkit listrik yang berbahan bakar minyak hanya menyumbang sekitar 20% dari total pembangkitan.
Seiring dengan realisasi proyek 10 ribu megawatt tahap I dan 10 ribu megawatt tahap II yang energi primernya sebagian besar menggunakan bahan bakar non-minyak dan energi baru terbarukan, maka pada 2012 porsi penggunaan bahan bakar minyak akan semakin berkurang. Otomatis potensi penurunan Biaya Pokok Penyediaan Listrik yang cukup signifikan sangat bisa terjadi. Namun dengan syarat segala sesuatunya berjalan sesuai rencana dan tepat waktu.
Mengingat subsidi merupakan selisih antara Biaya Pokok Penyediaan Listrik ditambah margin yang ditetapkan dengan tarif dasar listrik yang dikalikan besaran penjualan listrik, maka dimungkinkan Biaya Pokok Penyediaan listrik dapat menyamai tarif dasar listrik, bahkan ada kemungkinan akan lebih rendah. Kemungkinan ini juga melihat potensi penurunan Biaya Pokok Penyediaan Listrik yang signifikan.
Dengan demikian, kebijakan kenaikan tarif dasar listrik bisa jadi nantinya menjadi tidak perlu diberlakukan dan PLN bisa mendapatkan margin keuntungan dari setiap kilowatt hour penjualan listrik.
Sebenarnya yang masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah sekarang ini adalah usaha untuk memastikan proyek 10 ribu megawatt berjalan sesuai rencana dan Comercial On Date (COD)-nya tidak lagi molor. Lebih baik lagi jika bisa selesai lebih cepat.
Namun, tidak adil rasanya akibat ketidakberesan yang masih menjadi tanggungan pemerintah ini, kemudian pemerintah mengambil kebijakan pemotongan subsidi listrik. Rakyat yang pada akhirnya harus menanggung beban kenaikan tarif dasar listrik dengan alibi mengurangi risiko fiskal.
Pilihan Kebijakan
Pilihan kebijakan untuk mengurangi risiko fiskal sejatinya sangat lebih mendesak dengan cara mengurangi subsidi bahan bakar minyak dengan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi dalam kisaran yang terbatas.
Dibandingkan dengan subsidi bahan bakar minyak, sebenarnya penggolongan pelanggan listrik yang sudah relatif rapi dan tertata dengan cukup baik sudah menjadikan distribusi listrik cenderung lebih tepat sasaran. Terkait ini, kurang bijaksana jika pemerintah memilih menaikkan tarif dasar listrik dibanding menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang tidak jelas siapa penggunanya, sering menimbulkan distorsi serta memperumit permasalahan sektor transportasi.
Jika membandingkan penghematan fiskal antara menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi dengan menaikkan tarif dasar listrik, secara kasar opsi kebijakan pertama dapat menghemat anggaran lebih besar dibanding menaikkan tarif dasar listrik.
Katakanlah bahan bakar minyak bersubsidi dinaikkan sebesar Rp 500 per liter, dengan volume bahan bakar minyak bersubsidi yang sebesar 40,5 juta kiloliter, potensi penghematan fiskal yang mungkin didapat akan bisa mencapai Rp 20 triliun. Itu artinya lebih besar dua kali lipat dibanding pemberlakuan kebijakan kenaikan tarif dasar listrik sebesar 10% yang menghemat Rp 9 triliun tersebut.
Belum lagi potensi inflasi yang timbul dari kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi kemungkinan tidak akan sebesar inflasi akibat kenaikan tarif dasar listrik. Hal ini karena ekspektasi inflasi yang teredam dengan sendirinya akibat masyarakat lebih dapat menerima dan memahami kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Buktinya, kencang desakan publik untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi sejak harga minyak dunia berada pada level tinggi selama hampir sepanjang tahun ini.
Dari sedikit uraian di atas, kenaikan tarif dasar listrik yang rencananya bakal diterapkan mulai 1 April 2012 bukanlah sebuah prioritas kebijakan yang mendesak untuk diberlakukan.
Rakyat berharap pemerintah tidak lagi keliru dalam memilih dan menentukan prioritas kebijakan yang akan diberlakukan. Di tengah kompleksitas permasalahan sektor energi ditambah keliru memilih prioritas kebijakan ini, justru akan menunjukkan pemerintah seolah-olah kehilangan arah dan pegangan dalam mengelola energi. Rakyat pasti tidak ingin hal ini terjadi.