Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia: Senin, 21 Maret 2016
Ketahanan energi mencerminkan ukuran dan kekuatan sebuah negara. Tingkat ketahanan energi berkaitan dengan struktur dan besaran perekonomian, tingkat peradaban, cara berfikir dan kemampuan merencanakan dari para penyelenggara negara.
Struktur perekonomian yang berbasis industri akan memerlukan daya dukung dan daya tahan energi yang lebih tinggi. Begitupula, semakin tinggi tingkat peradaban dan cara berfikrir sebuah bangsa umumnya akan berkorelasi dengan tuntutan terhadap ketahanan energi yang lebih baik.
Untuk Indonesia, isu ketahanan energi semestinya telah harus menjadi perhatian sejak beberapa tahun terakhir. Sejumlah kondisi yang ada seharusnya telah memunculkan sense of crisis bangsa ini terhadap ketahanan energi.
Data menunjukkan konsumsi energi Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Sementara kemampuan penyediaan energi – khsusunya minyak bumi-, dari dalam negeri mengalami penurunan.
Realisasi konsumsi bahan bakar berbasis minyak pada tahun 2015 adalah sekitar 1,4 juta barel per hari. Sementara realisasi produksi minyak Indonesia pada tahun yang sama hanya 778 ribu barel per hari. Dari jumlah tersebut bagian yang diterima negara sekitar 60 % atau 467 ribu barel per hari, sedangkan 40 % hasil produksi merupakan bagian kontraktor dan cost recovery.
Dalam kurun 10 tahun terakhir, konsumsi bahan bakar berbasis minyak (BBM) Indonesia rata-rata tumbuh antara 6 – 7 % setiap tahunnya. Mengacu pada pertumbuhan tersebut, konsumsi BBM Indonesia pada tahun 2025 mendatang berkisar antara 2,5 – 3 juta barel untuk setiap harinya.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian mengingat peran BBM dalam bauran energi nasional sampai saat ini masih sangat dominan. Apalagi Indonesia tidak sendiri, mengingat porsi minyak bumi dalam bauran energi dunia juga masih dominan. Dengan asumsi kemampuan produksi minyak Indonesia dapat ditingkatkan menjadi 1 juta barel per hari dan semuanya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kebutuhan impor BBM dan/atau minyak mentah Indonesia pada tahun 2025 berkisar antara 1,5 – 2 juta barel per hari.
Dengan besaran impor tersebut dan harga minyak pada tahun 2025 diasumsikan 80 USD per barel, Indonesia akan membutuhkan devisa impor untuk minyak mentah dan produk paling tidak antara 45 60 milyar USD setiap tahunnya. Kebutuhan tersebut berpotensi jauh lebih besar lagi jika produksi minyak di dalam negeri tidak dapat ditingkatkan dan/atau harga minyak di pasar internasional mengalami peningkatan.
Strategic Petroleum Reserve
Untuk menjaga keberlanjutan pasokan energi dan mengelola nilai tukar dari tekanan kebutuhan devisa impor, sebagian besar negara di dunia memiliki cadangan minyak strategis atau strategic petroleum reserve (SPR).
Keberadaan SPR tidak hanya dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan pasokan energi, tetapi juga untuk memberikan dampak positif bagi aspek fiskal dan moneter dari negara yang bersangkutan.
Dengan keberadaan SPR negara dapat memanfaatkan momentum ketika harga minyak rendah dan tidak terlalu tertekan ketika harga minyak tinggi.
Dibandingkan sejumlah negara di Asia, Indonesia relatif tertinggal dalam hal ketersedian SPR. Sejumlah negara seperti Singapura, Thailand, Cambodia, China, India, Jepang, dan Korea Selatan tercatat telah memiliki SPR dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda.
Kemampuan SPR dari Thailand dan Cambodia masing-masing untuk 25 dan 30 hari. Sementara kemampuan SPR China, India, dan Singapura untuk 90 hari. Sedangkan kemampuan SPR Jepang dan Korea Selatan masing-masing telah mencapai 153 hari dan 238 hari.
Sampai saat ini Indonesia belum memiliki SPR, yang tersedia baru sebatas cadangan operasional BBM untuk 20-23 hari. Dalam hal ini cadangan operasional BBM tersebut juga tidak secara khusus disiapkan oleh negara, tetapi melalui dan menggunakan Kas Pertamina. Artinya yang selama ini disebut sebagai cadangan operasional BBM Indonesia adalah stok BBM Pertamina yang belum terjual.
Sementara untuk negara lain, selain memiliki cadangan operasional yang memang disediakan oleh negara, juga memiliki SPR untuk kurun 25 hari sampai dengan 8 bulan.
Berdasarkan pencermatan, permasalahan utama yang menyebabkan Indonesia belum memiliki SPR adalah keterbatasan infrastruktur. Saat ini kapasitas tangki timbun BBM Indonesia yang tersebar di delapan regional adalah sekitar 3.646 juta KL atau 22,93 juta barel.
Dengan tingkat konsumsi yang telah mencapai 1,4 juta barel, kapasitas tangki timbun BBM Indonesia tersebut hanya mampu untuk 16,37 hari. Keterbatasan yang ada menyebabkan pemerintah relatif belum memiliki respon kebijakan untuk memanfaatkan momentum harga minyak rendah yang sedang terjadi saat ini.
Sebagai negara net importir, dalam jangka pendek dan menengah, pemerintah Indonesia harus melakukan terobosan kebijakan agar dapat mengambil keuntungan dari harga minyak yang sedang rendah. Mencermati keterbatasan yang ada, untuk dapat memanfaatkan peluang tersebut pemerintah harus melakukan kebijakan paralel.
Dalam jangka pendek dan menengah pilihan realistis adalah menyewa dan memanfaatkan kilang dan tangki timbun minyak mentah dan BBM di luar negeri. Sedangkan dalam jangka panjang- sampai batas waktu tertentu-, pemerintah harus meningkatkan kapasitas kilang dan tangki timbun di dalam negeri.
Berdasarkan indikator alokasi anggaran, keterbatasan infrastruktur migas termasuk infrastruktur untuk minyak dan BBM-, pada dasarnya tampak telah teridentifikasi dan secara bertahap kemungkinan akan diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Hal itu tercermin dari adanya tambahan anggaran program pengelolaan dan penyediaan minyak dan gas bumi pada APBN-P 2015 sebesar 3,41 triliun rupiah dan adanya alokasi anggaran pengembangan infastruktur migas pada APBN 2016 sekitar 2 triliun rupiah. Dari penelusuran diketahui peruntukkan dari alokasi anggaran tersebut diantaranya untuk pengembangan infrastruktur pengolahan BBM, penyimpanan BBM, pengangkutan BBM, dan niaga BBM.
Dari sejumlah indikator, Indonesia kemungkinan akan terus tumbuh menjadi negara yang besar dengan tingkat peradaban yang juga semakin meningkat. Oleh karenanya, mewujudkan ketersediaan SPR sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan ketahanan energi perlu dilakukan.
Dengan besaran ekonomi (PDB) dan jumlah penduduk yang jauh lebih besar dibandingkan Singapura, Thailand, dan Cambodia, kondisi SPR Indonesia semestinya harus lebih baik dari negara-negara tersebut.
Dalam hal ini saya menilai gagasan Menteri ESDM mengenai rencana pembentukan dana ketahanan energi (DKE) dan wacana pembentukan holding BUMN Energi sangat relevan untuk mendorong terwujudnya SPR dan ketahanan energi. Meski masih terus memerlukan penyempurnaan dan diskursus intelektual juga terus berjalan, sejumlah gagasan tersebut sangat positif jika dapat segera diwujudkan.