Thursday, August 21, 2025
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2025Ketergantungan Impor LPG dan Wacana Impor LNG

Ketergantungan Impor LPG dan Wacana Impor LNG

Liputan6.com; 19 Agustus 2025
Penulis: Pri Agung Rakhmanto, Founder & Advisor ReforMiner Institute, Pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan gas nasional, pengembangan dan pemanfaatan Liquified Petroleum Gas (LPG) dan Liquified Natural Gas (LNG) memiliki permasalahan dan tantangan yang relatif berbeda. Untuk LPG, potret permasalahan utamanya setidaknya selama sepuluh tahun terakhir adalah konsumsi LPG yang terus meningkat, sementara kapasitas produksi kilang LPG dalam negeri relatif stagnan sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan yang ada.

Untuk LNG, secara umum hingga saat ini impor belum dilakukan. Kita masih tercatat sebagai eksportir LNG – keenam terbesar dunia – dengan volume mencapai 300 kargo pada 2024 lalu. Ke depan, namun demikian, ekspor LNG diproyeksikan akan semakin menurun seiring peningkatan pengalokasian produksi LNG untuk pemenuhan kebutuhan gas domestik, khususnya untuk industri dan listrik.

Ketegantungan Impor LPG

Selama lima tahun terakhir (2020–2024), tren konsumsi LPG di Indonesia menunjukkan peningkatan sebesar 10,98%, naik dari 8,02 juta ton pada tahun 2020 menjadi 8,90 juta ton pada tahun 2024. Sementara itu, kapasitas produksi domestik hanya tumbuh sebesar 2,40% dalam periode yang sama, dari 1,92 juta ton pada tahun 2020 menjadi 1,96 juta ton pada tahun 2024.

Kesenjangan antara pertumbuhan konsumsi dan produksi di atas tercatat semakin memperbesar ketergantungan Indonesia terhadap impor LPG. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2025), rata-rata volume impor LPG selama lima tahun terakhir mencapai 6,67 juta ton per tahun dengan tren peningkatan mencapai sekitar 8,02% per tahunnya.

Ketergantungan pada impor LPG yang terus meningkat telah memberi tekanan terhadap fiskal, terutama melalui alokasi subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan data, total belanja subsidi meningkat dari Rp 242,1 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp. 307,9 triliun dalam APBN 2025. Peningkatan ini didorong terutama oleh lonjakan subsidi energi, yang naik dari Rp. 140,4 triliun menjadi Rp. 203,4 triliun di periode yang sama.

Berdasarkan komoditasnya, subsidi LPG 3 kg tercatat memiliki porsi terbesar yaitu sekitar 42 – 45% dari total subsidi energi. Alokasi subsidi untuk LPG 3 kg juga tercatat meningkat dari Rp. 67,6 triliun pada 2021 menjadi Rp. 87 triliun pada APBN 2025.

Program pemerintah Jaringan Gas (Jargas) Rumah Tangga yang dijalankan BUMN – Perusahaan Gas Negara (PGN) -, pada dasarnya berpotensi untuk bisa membantu mengurangi impor dan subsidi LPG 3 kg ini.

Pencapaian program sambungan jargas 4 juta Sambunga Rumah Tangga (SR) dapat mengurangi volume impor LPG sebesar ±400.000 metrik ton, yang setara dengan ± 6,15% dari total volume impor LPG Indonesia saat ini (sekitar 6,5 juta metrik ton per tahun).

Apabila dihitung terhadap total konsumsi LPG nasional, dampak program jargas mencapai ±4,86%. Setiap penambahan 1 juta SR program jargas diproyeksikan mampu menghasilkan potensi penghematan subsidi pemerintah sebesar ±Rp672 miliar.

Jika target pembangunan jaringan gas dalam rencana strategis sebanyak 4 juta SR dapat terealisasi, maka potensi penghematan subsidi LPG 3 kg yang dapat dicapai pemerintah diperkirakan mencapai Rp. 2,69 triliun per tahun.

Wacana Impor LNG

Wacana impor LNG yang belakangan ini mengemuka pada dasarnya adalah lebih terkait kondisi ketidakseimbangan pasokan-permintaan gas nasional antar wilayah. Meskipun produksi gas secara nasional berada dalam kondisi surplus, ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan di berbagai wilayah telah menunjukkan potensi terjadinya defisit pasokan.

Berdasarkan data neraca gas PGN (2025), wilayah Jawa Barat hingga Sumatra bagian selatan diproyeksikan akan mengalami defisit neraca gas sepanjang periode 2025-2035. Konsumsi sebagian besar pengguna gas yang berada di wilayah Indonesia bagian barat meningkat, sementara produksi gas di wilayah tersebut menurun.

Defisit pasokan gas pada wilayah Indonesia bagian barat diproyeksikan meningkat dari sekitar 189 MMSCFD pada 2025 menjadi sekitar 803 MMSCFD pada 2035. Surplus produksi gas (LNG) di wilayah Indonesia bagian timur belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk menutup defisit di wilayah barat karena terkendala infrastruktur distribusi yang belum cukup tersedia.

Sementara produksi LNG sebagian telah terikat kontrak ekspor jangka panjang. Karena itu, pemenuhan kebutuhan LNG domestik seringkali hanya dapat dilakukan melalui swap, rescheduling dan mengalihkan sebagian alokasi kargo ekspor yang di dalam pelaksanaannya menghadapi sejumlah tantangan, baik dari sisi kepastian-volume maupun di sisi biaya.

Swap, rescheduling dan pengalihan alokasi ekspor LNG untuk domestik memerlukan upaya (re)negosiasi dengan banyak pihak – produsen, transporter, pembeli – yang tidak mudah dan tidak menjamin seluruh kebutuhan yang diperlukan dapat dipenuhi secara berkelanjutan.

Untuk tahun 2025 misalnya, untuk memenuhi kebutuhan gas industri dan listrik, PGN tercatat baru mendapatkan alokasi 5 kargo dari total kebutuhan sekitar 11 kargo LNG. Ke depannya, dalam garis kebijakan pemerintah, ekspor LNG sendiri diproyeksikan akan menurun seiring adanya peningkatan alokasi produksi LNG untuk domestik.

Wacana impor LNG muncul karena dipandang dapat menjadi solusi untuk mengatasi ketidakseimbangan-defisit gas antar wilayah dan kecenderungan menurunnya ekspor LNG tersebut. Dari sisi volume pasokan dan keberlanjutan, impor LNG dari negara-negara produsen-eksportir LNG utama dunia seperti Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia dipandang dapat lebih memberikan jaminan kepastian.

Dari sisi biaya, impor LNG di tengah kompetisi pasar LNG global yang saat ini dan ke depannya berpotensi akan dalam kondisi suplai mencari pasar (baru) juga membuka peluang untuk kita bisa mendapatkan harga LNG impor yang kompetitif.

Berdasarkan data, harga LNG impor dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia yang diperdagangkan di pasar Asia relatif kompetitif dengan harga LNG domestik. Rata-rata harga LNG Free on Board (FOB) selama periode 2024 dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia masing-masing sekitar 7 USD per MMBTU, 7 USD per MMBTU, 9 USD per MMBTU, dan 11 USD per MMBTU. Pada periode 2024 harga LNG dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia sampai pada titik serah di pasar Asia masing-masing sekitar 10,5 USD per MMBTU, 11,5 USD per MMBTU, 11,5 USD per MMBTU, dan 12,5 USD per MMBTU. Jika mengacu pada formula harga LNG domestik yang ditetapkan 17,4% x ICP, sementara rata-rata ICP 2024 sebesar 78,14 USD per barel, maka rata-rata harga LNG domestik selama periode 2024 adalah sekitar 13,59 USD per MMBTU.

Mengacu pada data tersebut, harga LNG impor dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia dapat dikatakan relatif kompetitif dengan harga LNG domestik. Dari empat negara yang potensial menjadi sumber impor LNG tersebut, Amerika Serikat berpotensi dapat memberikan harga LNG yang lebih kompetitif. Berdasarkan data, rata-rata harga LNG FOB dari Amerika Serikat selama periode Januari – April 2025 adalah sekitar 7,73 USD per MMBTU.

Biaya pengangkutan sampai ke wilayah Asia termasuk Indonesia diperkirakan antara 2,09 USD – 4,75 USD per MMBTU tergantung kapasitas LNG yang diangkut, lokasi dan armada yang digunakan. Dengan menambahkan biaya pengangkutan tersebut, rata-rata harga LNG impor dari Amerika Serikat sampai di wilayah Asia adalah sekitar 9,82 USD – 12,48 USD per MMBTU. Harga tersebut relatif kompetitif dengan harga LNG domestik pada periode yang sama yang berada pada kisaran 12,51 USD per MMBTU.

Keharusan dan Kebutuhan

Ketergantungan impor LPG, dengan demikian, merupakan suatu kondisi yang harus diatasi, salah satunya dengan cara meningkatkan pemanfaatan gas domestik melalui program jaringan gas rumah tangga yang diperluas secara masif.

Mengurangi dan menghentikan ketergantungan impor LPG adalah suatu keharusan. Impor LNG, di sisi lain, ke depannya dapat dikatakan merupakan suatu kebutuhan untuk dapat lebih menjamin tersedianya gas untuk kebutuhan domestik, khususnya untuk sektor industri, listrik dan program lain pemerintah di bidang gas seperti halnya jaringan gas rumah tangga.

Impor LNG, sekaligus dapat merupakan suatu instrumen untuk merealisasikan benefit yang dapat diperoleh suatu negara dengan melakukan perdagangan internasional. Sebagaimana prinsip dasar dan teori ekonomi perdagangan internasional tentang comparative advantage (David Ricardo, 1817) mengajarkan bahwa dari perdagangan internasional suatu negara dapat merealisasikan benefit dalam bentuk peningkatan efisiensi ekonomi secara keseluruhan jika negara tersebut melakukan spesialisasi di dalam penyediaan barang dan jasa dimana mereka memiliki opportunity cost yang lebih rendah. Kita berpeluang bisa mengimpor LNG dengan harga kompetitif untuk lebih menjamin ketersediaan gas dan menggerakkan perekonomian dalam arti luas dengan tetap mendapatkan devisa dari ekspor.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments