Kompas.com; 5 Agustus 2025
JAKARTA, KOMPAS.com – Konsumsi liquefied petroleum gas (LPG) di Indonesia meningkat pesat dalam lima tahun terakhir, namun tidak dibarengi pertumbuhan produksi domestik yang signifikan. Ketimpangan ini memperbesar ketergantungan terhadap impor LPG dan membebani anggaran negara melalui subsidi energi.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan konsumsi LPG nasional naik 10,98 persen, dari 8,02 juta ton pada 2020 menjadi 8,90 juta ton pada 2024. Sebaliknya, produksi dalam negeri hanya tumbuh 2,40 persen dari 1,92 juta ton menjadi 1,96 juta ton. Akibatnya, volume impor LPG rata-rata mencapai 6,67 juta ton per tahun sepanjang 2020–2024, dengan tren peningkatan sekitar 8,02 persen per tahun.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, peningkatan ketergantungan impor LPG menjadi risiko fiskal yang cukup serius bagi pemerintah.
“Impor LPG yang terus naik membuat belanja subsidi energi rentan terhadap fluktuasi harga minyak dan nilai tukar. Ini bisa berdampak besar pada postur APBN,” kata Komaidi kepada Kompas.com, Selasa (5/8/2025).
Berdasarkan data APBN, total belanja subsidi meningkat dari Rp 242,1 triliun pada 2021 menjadi Rp 307,9 triliun pada 2025.
Porsi terbesar berasal dari subsidi energi yang melonjak dari Rp 140,4 triliun menjadi Rp 203,4 triliun dalam periode yang sama. Dari total subsidi energi tersebut, LPG tabung 3 kilogram menyerap sekitar 42 sampai 45 persen anggaran. Nilainya naik dari Rp 67,6 triliun pada 2021 menjadi Rp 87 triliun dalam APBN 2025.
“Selama tidak ada upaya sistematis untuk memperkuat pasokan gas dalam negeri dan membangun infrastruktur alternatif, subsidi ini akan terus membengkak,” ujar Komaidi.
Pemerintah mulai mengandalkan pembangunan Jaringan Gas (Jargas) Rumah Tangga sebagai strategi menekan ketergantungan pada LPG bersubsidi.
Program ini ditargetkan menjangkau 4 juta sambungan rumah tangga (SR). Apabila target tersebut tercapai, volume impor LPG diperkirakan bisa ditekan hingga 400.000 metrik ton per tahun, atau sekitar 6,15 persen dari total impor saat ini.
Dari sisi konsumsi nasional, dampaknya setara 4,86 persen pengurangan pemakaian LPG. Tak hanya menekan impor, program jargas juga berpotensi menghemat anggaran. Setiap tambahan 1 juta SR bisa mengurangi beban subsidi hingga Rp 672 miliar. Jika 4 juta sambungan terwujud, potensi penghematan subsidi bisa mencapai Rp 2,69 triliun per tahun.
Meski demikian, Komaidi menekankan perlunya konsistensi dalam pelaksanaan program jargas. “Tanpa roadmap dan pendanaan yang jelas, program ini bisa mandek. Selain itu, perlu sinergi antara pusat dan daerah untuk menjamin distribusi gas berjalan efisien,” ujarnya.