Investordaily; 9 Oktober 2020
Penulis: Komaidi Notonegoro (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute)
Indonesia merupakan Negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Informasi yang ada menyebutkan sekitar 40% potensi panas bumi dunia berada di wi layah Indonesia.
Berdasarkan catatan Badan Geologi Kementerian ESDM, sampai dengan Desember 2019, potensi panas bumi Indonesia sekitar 24 GW.
Dari jumlah tersebut potensi panas bumi yang telah dimanfaatkan Indonesia sebesar 2.130,6 MW atau baru sekitar 8,9% dari total potensi yang ada. Terkait potensi tersebut, industri panas bumi sebenarnya merupakan salah satu yang dapat mengakomodasipemenuhan target bauran energi yang ditetapkan pemerintah.
Melalui Rencana Umum EnergiNasional (RUEN) yang diatur dalamPerpres No 22/2017, pemerintah menetapkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energy nasional minimal 23% pada 2025 dan minimal 31% pada tahun 2050.
Perkembangan Industri Panas Bumi
Meskipun memiliki potensi yang besar, perkembangan industri panas bumi dalam negeri dapat dikatakan relatif belum cukup menggembirakan. Secara historis, pengusahaan panas bumi Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1983 yang ditandai dengan beroperasinya PLTP Kamojang Unit 1 dengan kapasitas 30 MW.
Akan tetapi, meskipun telah diusahakan sekitar 37 tahun, kapasitas pembangkit listrik panas bumi Indo nesia komulatif sampai saat ini baru sekitar 2.130,60 MW. Artinya, sampai dengan saat ini Indonesia rata-rata hanya menghasilkan kapasitas PLTP sekitar 57 MW untuk setiap ta hunnya.
Sementara di sisi yang lain, selama lima tahun terakhir ka pasitas pembangkit listrik yang meng gunakan batu bara (PLTU) yang dihasilkan Indonesia rata-rata bertambah sekitar 2.000 MW untuk setiap tahunnya.
Berdasarkan review, belum berkem bangnya industri panas bumi di dalam negeri karena terdapat se jumlah kendala. Beberapa di an taranya adalah karena (1) sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan PLN; (2) kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBT bersaing dengan pembangkit fosil; (3) jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas; (4) izin bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi, (5) risiko tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap yang belum jelas; dan (6) masih banyak izin yang harus dipenuhi setelah IUP pengusahaan panas bumi terbit.
Dari sejumlah kendala yang ada tersebut, titik temu dalam jual-beli uap dan/atau listrik panas bumi antara pengembang dan PLN yang sulit merupakan penyebab utama pengembangan panas bumi di dalam negeri relatif lambat.
Terkait permasalahan yang ada tersebut, jual-beli uap dan/atau listrik panas bumi antara pengembang dan PLN tidak dapat sepenuhnya diserahkan melalui mekanisme business to business.
Dengan objective melakukan efisiensi BPP, secara logis PLN akan memilih sumber pasokan listrik yang lebih murah dan dapat dipastikan bukan dari panas bumi.
Sementara bagi pengembang, tidak dapat pula menjual listrik pada harga yang dapat diterima PLN ketika harga tersebut masih di bawah nilai keekonomian proyek panas bumi itu sendiri.
Berdasarkan pencermatan, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan sejumlah regulasi yang mengatur mengenai harga jual-beli listrik panas bumi. Beberapa di antaranya adalah Permen ESDM No 02/2011, Permen ESDM No 17/2014, Permen ESDM No 12/2017, Permen ESDM No 43/2017, Permen ESDM No 50/2017, dan Permen ESDM No 53/2018.
Meskipun menggunakan formulasi yang berbeda, secara prinsip harga jual-beli listrik panas bumi yang diatur dalam sejumlah regulasi tersebut menggunakan kebijakan yang sama, yaitu ceiling price atau harga patokan tertinggi. Dalam Permen ESDM No.50/2017 jo Permen ESDM No 53/2018 ditetapkan dua mekanisme harga.
Pertama, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP paling tinggi sebesar BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat.
Kedua, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.
Berdasarkan ketentuan regulasi tersebut, peluang industri panas bumi untuk dapat berkembang akan semakin kecil. Regulasi tersebut memberikan batasan bahwa harga pembelian listrik panas bumi yang dapat dilakukan PLN tidak boleh melebihi rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan.
Sementara peluang harga jual listrik panas bumi lebih tinggi dari rata-rata BPP di sistem ketenagalistrikan setempat cukup besar. Apalagi jika pada wilayah tersebut terdapat banyak pembangkit yang menggunakan energi fosil sebagai energi primer pembangkitannya.
Peluang bahwa harga jual listrik panas bumi dapat lebih rendah dari rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan memang masih terbuka.
Terutama pada wilayah-wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan yang umumnya masih di luar jangkauan sistem kelistrikan utama. Akan tetapi, pada wilayah tersebut umumnya dihadapkan pada masalah permintaan tenaga listrik yang relatif rendah yang mana akan berdampak terhadap keekonomian proyek panas bumi yang akan diusahakan. Mencermati permasalahan yang ada tersebut, pengusahaan dan pengembangan panas bumi domestic mutlak memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah.
Untuk kondisi saat ini pengusahaan dan pengembangan panas bumi nasional akan sulit berjalan jika hanya diserahkan pada mekanisme business to business. Di antara pilihan yang tersedia untuk me ningkatkan pengusahaan dan pe ngembangan industri panas bumi adalah pemerintah memberikan subsidi kepada PLN agar dapat membeli listrik panas bumi sesuai dengan keekonomian proyek panas bumi. Atau memberikan sejumlah insentif in – vestasi dan perpajakan agar keekonomian proyek panas bumi masuk dalam rentang harga beli listrik oleh PLN.