Kompas.com; 27 Oktober 2024
JAKARTA, KOMPAS — Serangan udara Israel terhadap Iran pada Sabtu (26/10/2024) diperkirakan tak bakal menaikkan harga minyak mentah. Selain tak menyasar fasilitas minyak, pasar diyakini bisa tenang karena Iran tak menganggapnya sebagai serangan berarti. Namun, bagi Indonesia, risiko fluktuasi harga minyak yang rentan terhadap faktor geopolitik tetap mesti diwaspadai.
Pada Sabtu, serangan udara Israel menyasar fasilitas militer Iran, yakni di Teheran, Karaj, dan Mashdad. Iran kemudian menyatakan sistem pertahanan udara berhasil menangkis serangan sehingga hanya menimbulkan ”kerusakan terbatas”.
Mengutip laporan Reuters, Minggu (27/10/2024), kondisi itu diyakini bakal membuat harga minyak mentah turun. Itu berbeda dengan dampak serangan Iran ke Israel pada 1 Oktober 2024, yang membuat harga minyak mentah jenis Brent naik dari 73 dollar AS per barel ke 80 dollar AS per barel. Namun, setelah itu, harganya kembali turun. Pada Jumat (25/10/2024), perdagangan minyak mentah ditutup pada 76 dollar AS per barel.
”Israel tidak menyerang infrastruktur minyak. Laporan bahwa Iran tidak akan menanggapi serangan tersebut menghilangkan unsur ketiakpastian,” ujar Tony Sycamore, analis IG market di Sydney, Australia, seperti yang dilaporkan Reuters.
Kondisi itu, kata Tony, kemungkinan bakal memunculkan reaksi bertipe buy the rumour, sell the fact (membeli berdasarkan informasi, dan menjual setelah berita/faktanya terbit). Ia juga memprediksi minyak mentah jenis WTI, yang pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu pada 71 dollar AS per barel, akan turun menjadi 70 dollar AS per barel. Sementara minyak Brent diperkirakan turun menjadi 74-75 dollar AS per barel.
Analis komoditas UBS, Giovanni Staunovo, juga memperkirakan harga minyak bakal tertekan pada pembukaan perdagangan Senin (28/10/2024) menyusul serangan Israel ke Iran telah terkendali. ”Namun, saya memperkirakan reaksi penurunan seperti itu hanya bersifat sementara. Sebab, saya yakin pasar tidak memperhitungkan premi risiko yang besar,” ujarnya.
Dampak bagi Indonesia
Bagi Indonesia, serangan Israel terhadap Iran yang cenderung terkendali dan tak membuat harga minyak mentah melonjak bisa menjadi kabar yang melegakan, setidaknya untuk jangka pendek. Namun, rentannya fluktuasi harga minyak akibat konflik di Timur Tengah menjadi sinyal yang perlu diwaspadai. Sebab, Indonesia negara importir minyak dengan tren penurunan produksi siap jual (lifting) minyak di dalam negeri.
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Minggu, berpendapat, perkembangan geopolitik serta kondisi pasokan dan permintaan (supply and demand) minyak yang selama ini relatif dikondisikan ketat cenderung berpotensi membuat harga minyak dunia akan kembali di atas asumsi makro APBN 2024/2025, yang 82 dollar AS per barel.
”Itu berpotensi meningkatkan defisit APBN karena subsidi energi dan kompensasi BBM (bahan bakar minyak) yang meningkat. Juga defisit neraca perdagangan migas. Dampak negatif terhadap ketahanan ekonomi energi akan lebih besar daripada positifnya. Sebab, di sisi hulu, itu belum akan cukup menjadi insentif yang memadai untuk memacu investasi dan menambah penerimaan, sedangkan di hilir akan langsung memperbesar subsidi-kompensasi energi,” katanya.
Pri Agung menambahkan, dalam kaitannya dengan visi swasembada energi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, reformasi sistem subsidi menjadi menjadi langkah yang harus segera diimplementasikan. Artinya, reformasi subsidi dari subsidi harga barang ke orang penerima subsidi diharapkan akan lebih tepat sasaran.
”Bisa dikatakan, dari demand side management, itu merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan swasembada energi tersebut sendiri,” kata Pri Agung.
Lebih jauh, Pri Agung menilai, dampak lain yang perlu diwaspadai dan telah menjadi permasalahan akut ialah terkait defisit neraca perdagangan migas. Defisit tersebut akan memperlemah posisi nilai tukar rupiah yang dapat memberi dampak ekonomi yang lebih luas. Untuk mencapai swasembada energi, pekerjaan rumah besarnya ialah dengan membenahi sektor migas.
Hasil studi ReforMiner Institute pada 2021 menunjukkan, kebutuhan devisa impor migas berpotensi meningkat signifikan jika Indonesia tak dapat lagi memproduksikan migas di dalam negeri. Rata-rata kebutuhan devisa impor migas selama 2015-2022 yakni sekitar Rp 290 triliun per tahun. Dengan menggunakan acuan skenario konsumsi migas Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan tiga skenario Outlook Energy, kebutuhan devisa impor migas pada 2050 akan menjadi Rp 2.500 triliun-Rp 3.500 triliun per tahun.
Saat ini, industri migas Indonesia tengah menghadapi tantangan, khususnya pada minyak bumi. Tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir membuat lifting minyak bumi anjlok menjadi sekitar 577.000 barel per hari. Padahal, kebutuhan nasional sekitar 1,6 juta barel per hari. Pada gas bumi, terdapat sejumlah temuan sumber gas besar (giant discovery) yang masih perlu diupayakan untuk bisa dimonetisasi.
Sebelumnya, Presiden Prabowo dalam beberapa kesempatan menyebut swasembada energi menjadi salah satu fokus pemerintahan di samping swasembada pangan. Prabowo juga menyebut subsidi energi mesti tepat sasaran kepada warga yang membutuhkan. Pekan lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Bahlil Lahadalia menyebut, pihaknya masih mencari format yang tepat untuk reformasi subsidi energi tersebut.