Investordaily; 24 Juli 2020
Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, memberikan harapan mengenai peluang penyediaan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih berkualitas untuk dalam negeri. Regulasi tersebut menetapkan, BBM jenis Bensin RON 88 (BBM Khusus Penugasan) yang dinilai sebagai BBM berkualitas rendah tidak boleh lagi didistribusikan di seluruh wilayah Jawa-Bali.
Substansi Perpres No.191/2014 juga tercatat sejalan dengan rekomendasi Tim Khusus Reformasi Tata Kelola Migas agar jenis BBM Bensin RON 88 dan Gasoil 0,35 % sulfur dihapuskan. Tim tersebut berpandangan kedua jenis BBM tersebut berkualitas rendah (standar Euro 2) yang saat ini sudah tidak digunakan lagi di dunia termasuk di wilayah ASEAN.
Berdasarkan data dan informasi yang ada, terbitnya Perpres No.191/2014 dan rekomendasi Tim Khusus Reformasi Tata Kelola Migas tersebut, memberikan dampak langsung terhadap tingkat konsumsi BBM jenis Bensin RON 88 di dalam negeri. Konsumsi Bensin RON 88 yang pada tahun 2013 tercatat sebesar 29,50 juta kilo liter secara bertahap menurun menjadi 7,04 juta kilo liter pada 2017. Akan tetapi pada 2018, kuota BBM jenis Bensin RON 88 (BBM Khusus Penugasan) justru ditetapkan kembali meningkat menjadi 11,80 juta kilo liter.
Pada akhir Mei 2018, pemerintah menerbitkan Perpres No.43/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No.191/2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Regulasi tersebut menetapkan bahwa Bensin RON 88 diperbolehkan lagi untuk didistribusikan di seluruh wilayah Jawa-Bali. Pasal 3 ayat (4) Perpres No.43/2018 menetapkan bahwa “berdasarkan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri yang mekoordinasikan bidang perekonomian, Menteri ESDM dapat menetapkan distribusi BBM jenis bensin (Gasoline) RON minimum 88 di wilayah Jawa-Bali.
Perlu Konsistensi Kebijakan
Untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain dalam hal penyediaan BBM berkualitas, yang diperlukan Indonesia adalah konsistensi kebijakan. Pasar dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen domestik pada dasarnya tampak dapat beradaptasi dengan baik. Dari sisi pelaku usaha misalnya, hampir seluruh pengusaha SPBU di wilayah Jawa-Bali terpantau telah mengalihfungsikan dispenser yang sebelumnya digunakan untuk Bensin RON 88 kepada Bensin RON yang lebih tinggi. Sementara secara bertahap konsumen di wilayah Jawa-Bali juga tampak telah terbiasa tanpa Bensin RON 88.
Terkait standar emisi, pada 2014-2017 negara-negara di Eropa telah menerapkan standar Euro 6B dan pada 2018-2020 menerapkan standar Euro 6C. Sementara Indonesia sampai saat ini masih mengkonsumsi BBM dengan standar Euro 2. Dari aspek regulasi, Indonesia pada dasarnya dapat dikatakan telah relatif lebih maju. Pada April 2017, pemerintah mengundangkan Permen LKH No.20/2017 yang menetapkan adanya peralihan standar emisi dari Euro 2 ke Euro 4. Permen tersebut memberikan tenggat waktu selama 18 bulan untuk Bensin, CNG, LPG baik untuk produk eksisting dan produk baru beralih pada standar Euro 4 sejak Permen tersebut diundangkan. Sementara untuk Solar baik untuk produk eksisting dan produk baru diberikan tenggat waktu selama 48 bulan untuk beralih pada standar Euro 4.
Jika konsisten dengan ketentuan Permen LKH No.20/2017 tersebut, sejak Oktober 2018 konsumen di dalam negeri semestinya sudah tidak diperbolehkan lagi mengkonsumsi Bensin, CNG, LPG standar Euro 2. Hal yang sama juga demikian bahwa sejak April 2021 mendatang konsumen di dalam negeri juga tidak diperbolehkan lagi mengkonsumsi Solar standar Euro 2. Akan tetapi, dalam realisasinya meskipun telah lebih dari 20 bulan dari batas akhir tenggat waktu yang diberikan Permen LHK tersebut, konsumen di dalam negeri terpantau masih mengkonsumsi Bensin standar Euro 2.
Sebagai perbandingan, untuk negara di kawasan yang sama, Thailand tercatat telah berada di depan Indonesia. Thailand telah menerapkan standar Euro 4 sejak 2015-2018. Pada periode 2019-2023 Thailand menerapakn standar Euro 5. Pada 2024 mendatang Thailand menetapkan akan beralih menggunakan standar Euro 6. Sementara, sampai dengan 2025 mendatang Indonesia masih berada pada standar Euro 4.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, memang tidak mudah bagi Indonesia untuk dapat segera bermigrasi menggunakan BBM dengan standar kualitas yang lebih baik. Selain memerlukan komitmen bersama antara produsen dan konsumen BBM, penggunaan BBM berkualitas juga memerlukan komitmen kuat dari industri otomotif di dalam negeri. Sementara, data dan informasi yang ada menunjukkan bahwa sampai saat ini sebagian besar industri otomotif di dalam negeri baik untuk angkutan barang maupun untuk angkutan penumpang masih berstandar emisi Euro 2.
Terlepas dari kompleksitas permasalahan yang sedang dihadapi, saya menilai kunci utama untuk depat segera bermigrasi pada penggunaan BBM berkualitas berada pada konsistensi kebijakan pemerintah. Hal tersebut mengingat perizinan terkait industri pengolahan (kilang) BBM, distribusi BBM, dan niaga BBM seluruhnya melekat pada pemerintah. Begitupula perizinan terkait proses produksi dan penjualan otomotif di dalam negeri juga menjadi domain pemerintah. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kunci dan aktor utama untuk dapat mendorong kebijakan migrasi pada penggunaan BBM yang lebih berkualitas sesungguhnya berada di tangan pemerintah itu sendiri.
Kombinasi dari konsistensi kebijakan dan kepemimpinan yang kuat akan menjadi kunci agar Indonesia dapat segera mengejar ketertinggalan dengan negara-negara yang lain di dalam penyediaan BBM yang berkualitas. Pengambil kebijakan perlu memahami bahwa tidak akan ada kebijakan yang akan dapat memuaskan semua pihak. Dalam tingkatan tertentu bahkan pengambil kebijakan perlu mengambil risiko untuk tidak disukai dan mengorbankan kepentingan tertentu untuk kepentingan yang lebih luas. Hal lain yang juga perlu menjadi catatan dan perhatian pengambil kebijakan adalah bahwa perilaku konsumen terkait harga akan mengikuti teori aliran air, akan mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Begitupula dengan konsumen BBM, akan mencari dan beralih menggunakan BBM dengan harga yang lebih rendah. Karena itu, jangan terkejut jika di kemudian hari aspek fiskal (APBN) dan kualitas lingkungan menjadi korban akibat kebijakan penyediaan BBM murah dan berkualitas rendah.