PRI AGUNG RAKHMANTO;
Pendiri ReforMiner Institute
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti
Indonesia Finance, 24 October 2011
Landasan hukum tertingi dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertambangan (migas dan tambang umum) di Negara kita adalah Konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3 dan ayat 2. Pasal 33 ayat 3 menyatakan, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan ayat 2 menyatakan, Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Frase kunci dari kedua ayat ini dalam hal sistem pengelolaan pertambangan adalah dikuasai oleh Negara dan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dikuasai memiliki dimensi geo-politik bahwa Negara harus memiliki kuasa (berdaulat) atas pengelolaan kekayaan alam yang ada, sedangkan sebesar-besarmengandung dimensi geo-ekonomi bahwa di dalam pengelolaannya harus ada maksimalisasi usaha (Sutadi Pudjo Utomo, 2010). Maka, terjemahannya di dalam sistem pengelolaan pertambangan seharusnya adalah kuasa pertambangan (mining rights) ada di tangan pemerintah sebagai wakil dari Negara, dan di dalam pelaksanannya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penyerahan pelaksanaan kuasa pertambangan kepada BUMN adalah suatu keharusan karena BUMN secara sekaligus merepresentasikan bahwa penguasaan tetap berada di tangan Negara (dimensi geo-politik) dan dilakukan sesuai dengan prinsip usaha (dimensi geo-ekonomi). Untuk selanjutnya, BUMN yang diberi kuasa pertambangan tersebut dapat bekerjasama dengan badan-badan usaha yang lain (Business to Business, B to B), sesuai prinsip usaha dan kaidah keekonomian yang wajar. Jadi, sistem ini pada dasarnya tetap mengadopsi nilai-nilai (ekonomi) pasar yang positif, mengedepankan efisensi (maksimalisasi usaha), terbuka, dan sama sekali tidak anti asing.
Meskipun amanat Konstitusi berkenaan dengan sistem pengelolaan pertambangan sudah sedemikian gamblang, namun sistem yang kita miliki dan terapkan saat ini ternyata tidaklah mengikuti apa yang telah diamanatkan Konstitusi tersebut.
Pertambangan migas
Dalam pertambangan migas, pasca diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Negara melalui Kementerian yang menaungi bidang migas menyerahkan kuasa pertambangan bukan kepada BUMN, melainkan secara langsung kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap, tanpa membedakan apakah badan usaha tersebut milik negara kita ataukah milik negara lain. Pasal 12 ayat 3 UU Migas 22/2001 yang mengatur hal ini, yang berbunyi Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, sebenarnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keputusannya atas judicial review UU Migas pada 21 Desember 2004, sudah diharuskan untuk direvisi, namun masih tetap dibiarkan apa adanya hingga saat ini.Alhasil, kita menyaksikan bersama satu-satunya BUMN pertambangan migas yang kita miliki, Pertamina, harus berulangkali bersusah payah (dan bahkan gagal) untuk mendapatkan hak pengelolaan wilayah migas yang ada di negeri kita sendiri. Kasus Blok Cepu, Blok Madura, akusisi blok Offshore North West Java (ONWJ) menunjukkan hal itu.
Dalam kaitan dengan industri migas secara keseluruhan, sistem ini menyebabkan pengusahaan industri migas tidak lagi dikelola dengan mekanisme B to B melainkan G to B (Government to Business). Sistem menjadi lebih birokratis, prosedural, kaku, dan kehilangan daya tarik investasinya secara signifikan. Perlakuan dan keringanan pajak khusus dalam Kontrak Bagi Hasil yang semestinya dapat diterima investor tak dapat lagi diterapkan dalam sistem G to B yang sekarang berjalan. Hasilnya, cadangan terbukti dan produksi minyak nasional terus merosot. Mencapai target produksi 950 ribu barel per hari pun kita saat ini sudah tak sanggup. Secara matematis-statis, dengan tingkat produksi yang ada, cadangan terbukti minyak kita hanya akan bertahan untuk 11 tahun mendatang. Ketahanan energi nasional menjadi sangat rentan.
Pertambangan umum
Kondisi yang lebih memprihatinkan sesungguhnya terjadi di sektor pertambangan umum. Praktek pengusahaan dengan pola G to B, dengan menggunakan sistem konsesi penyerahan kuasa pertambangan atas wilayah langsung dari pemerintah kepada perusahaan-perusahaan tambang tanpa membedakan apakah milik negara sendiri ataukah milik negara lain sudah dijalankan sejak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pola ini tetap berlanjut, meski UU 11/1967 tidak lagi berlaku dan digantikan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Sistem konsesi G to B yang diwujudkan ke dalam Kontrak Karya tidak hanya menyebabkan Negara sepanjang sejarahnya tak pernah memiliki perusahaan tambang milik negara yang benar-benar berskala besar (berbeda halnya dengan Pertamina sebelum berlakunya UU Migas 22/2001), tetapi Negara juga tak memiliki kontrol yang kuat atas proses eksplorasi dan eksploitasi tambang umum yang ada. Tarif royalti yang dikenakan oleh pemerintah yang jelas tak pandai berbisnis karena secara hakikat bukan merupakan entitas bisnis pun menjadi sangat rendah, tidak berkeadilan, dan (kadang-kadang) sulit diterima akal sehat.
Berbeda dengan sistem royalti pertambangan umum di negara maju yang lebih berkeadilan, dimana royalti langsung dikenakan terhadap pendapatan kotor dengan tarif berkisar 15 – 30%, royalti yang diterapkan di pertambangan umum kita, khususnya mineral, rata-rata hanyalah berkisar 1 -3,5%, dan itu pun dikenakan terhadap pendapatan bersih. Artinya, basis perhitungannya adalah terhadap pendapatan yang sudah dikurangi biaya-biaya operasional perusahaan, dimana mekanisme kontrol Negara atas pengeluaran biaya-biaya operasional tersebut sangat lemah. Dengan sistem Kontrak Karya G to B ini, penerimaan yang diperoleh Negara selama ini dari royalti dan pajak dari pertambangan umum rata-rata tak lebih dari 20% dari nilai ekonomi tambang yang ada, 80% lebihnya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan tambang dan industri pendukungnya. Sebagai perbandingan, di tambang migas, dengan sistem Kontrak Bagi Hasil yang dijalankan, Negara masih dapat menikmati 50% -60% dari nilai ekonomi migas yang ada.
Maka, jika ingin memperbaiki pengelolaan pertambangan nasional kita, sebenarnya tak cukup hanya dengan melakukan pembenahan hal-hal yang sifatnya teknis-operasional ataupun hanya melalui negosiasi ulang kontrak yang ada saja, tetapi harus dimulai dari pembenahan aspek-aspek mendasar yang terkait Konstitusi. Karena dalam hal yang fundamental itu pun ternyata sistem pengelolaan pertambangan nasional kita selama ini sebenarnya masih bermasalah. Konkretnya, untuk pertambangan migas, yang perlu dilakukan sesegera mungkin adalah dengan mempercepat revisi Undang-Undang Migas 22/2001 yang saat ini tengah berjalan di DPR, dengan menempatkan kembali kuasa pertambangan di tangan badan usaha milik negara. Sementara di pertambangan umum yang perlu dilakukan adalah dengan mengubah Sistem Kontrak Karya yang didasarkan atas filosofi konsesi (penyerahan wilayah) menjadi Sistem Kontrak Bagi Hasil sebagaimana yang selama ini diterapkan di pertambangan migas.