(Pikiran Rakyat;17 Maret, 2015)
JAKARTA, (PRLM).- Revisi UU No 22 tahun 2001 tetang Migas akan dilakukan pada masa sidang ini yang akan mulai 23 Maret dan itu sudah masuk Prolegnas 2015. Revisi itu diharapkan terjadi kedaulatan Migas untuk negara yang selama ini dinilai lebih berpihak kepada asing dan atau investor yang mengeruk kekayaan negara.
Tapi, kalau dalam pembahasan revisi UU Migas itu masih didominasi kepentingan politik, baik di pemerintah maupun DPR RI, maka sulit UU Migas tersebut untuk kedaulatan negara. Karena itu seluruh elemen bangsa ini termasuk pers harus terus mengawal dengan baik prose pembahasan revisi RUU Migas.
Hal itu mengemukakan dalam forum legislasi Revisi UU Migas bersama Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Fraksi Golkar Satya Widya Yudha, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Ramson Siagian, dan penasihat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (17/3/2015).
Diakui Satya Widya Yudha, jika revisi UU Migas ini inisiatif DPR RI, tapi penyelesaiannya harus melibatkan pemerintah. Kalau pemerintah tidak begrerak, maka tidak akan selesai, maka nantinya bisa menjadi inisiatif berdua, sehingga perlu persetujuan DPR dan pemerintah.
Mentoknya di badan legislasi DPR RI. Kita sudah menyurati pemerintah, tapi di DPR RI sendiri begitu ganti masa periode DPR RI, maka hasil pembahasan RUU itu otomatis hangus, sehingga tak bisa menggunakan hasil pembahsan yang lama tersebut,” ungkapnya.
Namun, yang terpenting kata Satya Yudha adalah Migas ini mau berdaulat atau tidak Kalau, Production Sharing Contract(PSC) masih lex spesialist-kekhususan di mana negara tak bisa mengubah kontrak yang sudah ditandatangani, maka muncul 5 item keputusan MK. Seperti negara harus mengadakan kebijakan yang berdaulat, fungsi pengurusan, pencabutan izin, izin pengaturan, pengawasan pelaksnaan, sumber daya alam dan fungsi pengelolaan.
Pada prinsipnya Migas itu untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kalau kelima prinsip itu dilakukan maka Migas kita akan berdaulat, tetap menjaga konstitusi dan kontraknya harus berdaulat. Sebab tidak boleh kewenangan kontrak itu mengalahkan sekaligus menggantikan UU. Maka dalam kontrak itu nanti harus jelas, mengingat kontraktor lebih senang lex specialist daripada lex generalist, ungkap politisi Golkar itu.
Dengan kontrak lex generalist, maka negara bisa mengubah kalau dalam pelaksanaannya menyimpang dan merugikan negara. Karena itu kata Setya Yudha, harus ada stabilisasi claus, kalau lex spialist kita tak bisa apa-apa, tak bisa duduk bareng untuk melakukan renegosiasi ulang kecuali kontraknya mau habis seperti kasus PT Freeport.
Jadi, materi kontrak itu berdampak dahsyat dan kedudukannya lebih tinggi dari UU, itulah yang harus diubah ke lex generalist. Sehingga dengan UU yang baru nanti kita bisa duduk bareng utuk menjaga kedaulatan negara. Maka, tata kelola, kedaulatan donatur dan posisioning yang benar, itulah yang penting yang harus menjadi perhatian bersama dalam merevisi UU Migas itu, jelasnya.
Dia setuju kontrak dalam revisi UU Migas harus dibuat klausul tersendiri atau pasal tersendiri, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). “Dengan klausul tersendiri itu, maka kita berharap ada kedaulatan energi, seperti yang dimaksudkan oleh MK,” kata Satya W Yudha.
Diakui Satya, kontraktor saat ini lebih suka menggunakan lex spesialist, karena kontrak jenis ini sangat kuat dan bisa mengalahkan Undang Undang (UU) yang ada. “Makanya kita usulkan stabilization clause. Kalau kontraktor keberatan, dia bisa duduk bersama dengan pemerintah,” tambahnya.
Yang menggunakan kontrak lex spesialis, lanjut anggota Fraksi Partai Golkar ini memberi contoh, yakni PT Freeport. “Makanya kita tak bisa berbuat apa apa. Tidak ada ruang untuk pemerintah melakukan negosiasi. Kontrak ini luar biasa kedudukannya, melebihi Undang-Undang,” terangnya.
Menurut Satya, saat ini pemerintah tak punya rujukan UU Migas. Oleh karena itu, baik pemerintah maupun DPR harus sama-sama concern mempercepat pembahasan RUU Migas. “Kalau pemerintah diam saja, ya kita tak tahu harus bagaimana selanjutnya. Makanya pemerintah harus mengambil tindakan cepat, misalnya menjadikan RUU Migas jadi inisiatif pemerintah,” paparnya.
Dalam pembahasan RUU Migas ini, kata Satya lagi, celakanya begitu ganti pemerintahan, maka RUU Migas lama ‘hangus’, artinya tak bisa dibahas lagi. ‘Intinya, ya harus dari awal lagi pembahasannya,” pungkasnya.
ÂÂ