Thursday, November 21, 2024
HomeReforminer di Media2008Krisis Energi dan Sikap Pemerintah

Krisis Energi dan Sikap Pemerintah

Pri Agung Rakhmanto
Bisnis Indonesia, 25 Februari 2008

Dalam dua-tiga tahun terakhir ini kondisi keenergian dan sektor energi nasional tampaknya makin menunjukkan wajah yang sesungguhnya. Ketahanan energi kita terbukti sangat rapuh, bila tidak ingin dikatakan memang tidak ada. Sektor energi nasional juga terbukti sangat karut marut dan tidak mampu mengatasi persoalan yang menyangkut dirinya sendiri. Berbagai bukti atas penilaian itu sangat kasat mata, dari tertekannya APBN karena pengeluaran subsidi energi yang terus membengkak, antrean minyak tanah yang sudah menjadi pemandangan umum, hingga pemadaman listrik bergilir yang tidak terhitung lagi banyaknya.

Semua itu, pada dasarnya, merujuk pada kondisi yang sama, yaitu Indonesia sedang mengalami krisis energi, dan belum dapat diketahui kapan bisa diatasi. Krisis minyak Ketika harga minyak mentah dunia mulai beranjak naik hingga mencapai US$70 per barel pada pertengahan 2007, pemerintah berupaya menenangkan publik dengan mengatakan, kalaupun harga minyak mentah dunia sampai menembus US$100 per barel, ekonomi nasional, khususnya APBN, akan aman-aman saja. Namun demikian, saat harga minyak mentah dunia menembus US$100 US per barel, yang kita saksikan ternyata tidak sama dengan apa yang dikatakan sebelumnya. Pemerintah mulai panik karena ternyata realisasi total anggaran subsidi energi (untuk BBM dan listrik) dalam anggaran 2007 membengkak sebesar Rp46,5 triliun.

Subsidi bahan bakar minyak (BBM) membengkak Rp32,6 triliun dari yang dianggarkan pada APBN-P 2007 sebesar Rp55 triliun menjadi Rp87,6 triliun. Sementara itu, subsidi listrik membengkak Rp13,9 triliun menjadi Rp43,3 triliun. Total realisasi subsidi energi 2007 mencapai Rp130,9 triliun. Angka ini sama dengan 17,4% dari total APBN yang dianggarkan Rp754,2 triliun. Namun demikian, dari sisi penerimaan migas, justru menurun sekitar Rp32 triliun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp207,5 triliun. Padahal, dalam kurun waktu yang sama harga minyak mentah Indonesia per barel rata-rata naik dari US$63,86 menjadi US$72,3. Penyebabnya tidak lain adalah buruknya kinerja produksi sektor migas, khususnya capaian angka lifting minyak mentah, yang hanya 899.000 barel per hari. Angka ini sama dengan 51.000 barel per hari di bawah target yang ditetapkan.

Kepanikan pemerintah itu lalu mewujud dalam serangkaian pelaksanaan dan wacana kebijakan energi yang bersifat instan yang tidak lain hanya ditujukan untuk menghemat anggaran subsidi. Karut marutnya pelaksanaan konversi minyak tanah ke elpiji (LPG) dengan dalih diversifikasi energi adalah salah satu hasilnya. Dari klaim semula bahwa program konversi itu akan mampu mengurangi pemakaian minyak tanah hingga 1 juta kilo liter pada 2007, dalam realisasinya ternyata tidak lebih dari 130.000 kilo liter kerosin yang berhasil dikonversi secara “paksa.” Itupun dengan konsekuensi terjadi kelangkaan dan antrean minyak tanah di banyak wilayah negeri ini. Belum lagi masalah konversi minyak tanah ke elpiji dan antreannya tuntas diatasi, pemerintah kembali merencanakan pengalihan bensin premium oktan 88 ke oktan 92. Ketika rencana itu mendapat reaksi negatif dari masyarakat, dengan sigap pula dalih terlontar bahwa “itu baru sekadar wacana”. Lalu kini muncul rencana lain, penerapan smart card untuk membatasi pemakaian premium dan solar bersubsidi.

Dari serangkaian kebijakan tadi, tidak dapat disangkal lagi bahwa krisis minyak telah benar-benar terjadi di negeri ini. Akibat tekanan pada APBN, negara tidak mampu lagi secara memadai memenuhi kebutuhan minyak masyarakat, khususnya BBM, sehingga semua perlu dibatasi dengan cara-cara yang cenderung bersifat memaksa. Hal ini sungguh ironis dan memprihatinkan, sebuah negara yang masih menjadi anggota OPEC, ternyata “menderita” justru ketika harga minyak mentah dunia melambung tinggi. Krisis listrik Ironi dan keprihatinan itu pun ternyata belum lengkap. Pemadaman listrik bergiliran, lagi-lagi dan lagi-lagi terjadi. Dalam beberapa hari terakhir ini akibat tidak tersedianya batu bara sebagai bahan bakar, beberapa pembangkit pada sistem kelistrikan Jawa-Bali tidak beroperasi, sehingga terjadi defisit pasok daya hingga 1.000 MW (atau sekitar 4,7% dari total kapasitas terpasang 20.880 MW). Yang sangat mencederai nalar dan akal sehat kita adalah faktor cuaca dijadikan kambing hitam dari semua kejadian itu.

Penyebab yang sesungguhnya, yaitu ketidakmampuan finansial otoritas kelistrikan negeri ini yang terkait dengan masalah inefisiensi yang kronis, buruknya manajeman perencanaan dan antisipasi, dan tidak memadainya manajemen pemeliharaan pembangkit tidak diungkap secara jujur. Selain itu, tidak adanya jaminan pasokan batu bara, karena 70% produksi sumber energi tersebut telah terikat kontrak ekspor, juga tidak disinggung sama sekali. Akibat dari itu semua, standar stok aman bahan bakar pembangkit yang setidaknya 14 hari (bahkan idealnya 21 hari), diabaikan dengan menggunakan stok yang hanya cukup untuk kebutuhan 3-4 hari atau 6 hari, ketika cuaca buruk bertahan hingga lebih dari tiga hari. akibatnya sangat mudah ditebak, yaitu semuanya menjadi amburadul! Masih dalam kondisi gelap gulita seperti itu, muncul kebijakan yang dikemas dalam kata-kata penerapan insentif dan disinsentif tarif, yang akan diberlakukan hingga ke masyarakat kecil yang berlangganan listrik 450 VA.

Meski tampak bagus, jika dicermati kebijakan ini ternyata tidak lebih juga hanya cenderung merupakan upaya menaikkan tarif listrik secara terselubung demi tercapainya penghematan anggaran subsidi listrik sebesar Rp18,8 triliun. Tidak perlu pemikiran yang berbelit untuk mengerti semua itu. Hal ini karena dari logika sederhana pun dapat ditebak bahwa jika dari awal program ini telah yakin (atau ditargetkan) akan menghasilkan penghematan anggaran subsidi sebesar itu, sudah jelas secara hitungan pasti diyakini masyarakat akan lebih banyak terkena disinsentif (membayar tarif yang 1,6 kali lebih mahal dari tarif termahal di golongannya).

Tanpa sosialisasi yang jelas, masyarakat tidak akan pernah tahu secara pasti apakah pemakaian listriknya sudah melebihi atau masih kurang dari 80% standar pemakaian rata-rata yang ditetapkan pemerintah. Yang mungkin akan terjadi adalah ternyata tiba-tiba sebagian besar tagihan listrik masyarakat bakal membengkak. Dalam kondisi yang sudah sangat akut ini tidak ada obat mujarab yang dapat menghentikan krisis energi secara seketika. Aneka rekomendasi solusi sudah sangat sering dilontarkan oleh berbagai kalangan dalam berbagai kesempatan. Pemerintah pun sebenarnya sudah sangat mengetahuinya. Oleh karena itu, tidak ada resep khusus, kecuali sudah saatnya tinggalkan berwacana. Mulailah bekerja keras secara sungguh-sungguh dan tulus untuk menerjemahkan tiga pilar utama kebijakan energi-yaitu diversifikasi, intensifikasi, dan konservasi-menjadi langkah konkret yang semestinya diterapkan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments