Friday, November 22, 2024

Kualitas Undang-Undang

Pri Agung Rakhmanto,
Dosen Fakultas Teknik Perminyakan Universitas Trisakti
Petrominer, 6 April 2015

Permasalahan di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) sepertinya tak pernah selesai.Di hulu migas, gairah investasi untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi untuk mendongkrak cadangan dan produksi sudah lama menurun drastis. Birokrasi yang memakan waktu, aturan main yang berubah-ubah, dan lamanya pengambilan keputusan menyangkut perpanjangan atau terminasi kontrak menambah ketidakpastian yang menjadi disinsentif bagi investasi.

Sementara di hilir migas, kapasitas kilang nasional untuk menghasilkan BBM yang cukup mengalami stagnansi pengembangan yang berkepanjangan. Di pertambangan mineral dan batubara, persoalan hilirisasi menyangkut pembangunan smelter, tumpang tindih perizinan dan lahan, dan kepastian perpanjangan atau terminasi kontrak juga tak kunjung selesai.

Beragam persoalan itu seperti selalu tetap ada di tempat dan berulang-ulang terjadi selama bertahun-tahun. Tentu ada progres, tapi itu tak cukup untuk menjawab tantangan yang semakin komples dari waktu-waktu.

Banyak yang beranggapan bahwa beragam permasalahan yang ada muncul lebih karena ketidakmampuan eksekusi dan pengelolaan di tingkat koordinasi dan operasional yang lemah. Saya menilai hal itu memang benar adanya di satu sisi. Namun, di sisi lain, yang jauh lebih fundamental, saya melihat permasalahan juga disebabkan karena di level landasan aturan main, kita tidak memiliki undang-undang yang cukup berkualitas.

Ambil contoh kasus Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Sejak 2004, sebagian pasal dari undang-undang ini sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Malahan, pada November 2012, lembaga pengendali kegiatan investasi eksplorasi-eksploitasinya, yakni BP Migas, dibubarkan. Seluruh pasal yang berkaitan dengan BP Migas dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap.

Pada titik ini, dasar untuk melakukan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas sebenarnya dapat dikatakan tidak ada. UU Migas sampai saat ini memang masih tetap berlaku. Namun, pengelolaan kegiatan usaha hulu migas kemudian hanya didasarkan atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013, yang di dalamnya termasuk mengatur pendirian SKK Migas.

Untuk industri setingkat hulu migas yang padat modal, padat teknologi, dan beresiko tinggi, pengaturan yang didasarkan atas Peraturan Presiden, ataupun undang-undang yang sudah compang-camping itu, jelas sangat tak memadai. Implikasinya jelas; tak ada kepastian hukum, tak ada investasi.

Undang-Undang Mineral dan Batubara 4/2009 juga tak lebih baik. Di dalam hal yang sangat prinsip, undang-undang ini memuat pasal yang sangat ambigu. Pasal 169 butir b menyatakan ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba ini diundangkan (Januari 2009 lalu). Tetapi Pasal 169 butir a menyatakan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah ada sebelum berlakunya UU Minerba ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.

Jadi, mana yang benar? Tergantung interprestasi. Dan itu artinya pasti perlu waktu dan energi untuk bisa mencapai titik temu. Tak heran jika program hilirisasi minerba, yang salah satunya identik dengan pembangunan smelter, hingga saat ini progresnya tak signifikan.

Jadi, jangan pernah lagi mengganggap sepele persoalan undang-undang. Pandangan bahwa tidak penting bagaimana undang-undangnya, asalkan implementasinya jelas perlu dikoreksi karena jelas undang-undang akan mempengaruhi, membentuk, dan mendikte implementasinya. Sudah bukan waktunya lagi bagi para pembuat undang-undang di negeri ini untuk selalu mengambil jalan pintas dengan mendesain undang-undang yang tidak detil. Kebiasaan malas – bahwa hal-hal detil akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana di bawahnya harus diakhiri.

Undang-undang haruslah spesifik, jelas, detil sehingga tidak menyisakan ruang untuk multiinterpretasi dan loop holes untuk dimain-mainkan beragam kelompok kepentingan. Kita memerlukan undang-undang yang berkualitas.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments