Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif Reforminer Institute
Sindo, 21 Desember 2007
BELUM lama ini, pemerintah mengeluarkan sembilan jurus untuk mengamankan APBN 2008. Satu di antaranya adalah menjaga tingkat lifting (atau yang sering disederhanakan sebagai produksi siap jual) minyak sebesar 1,034 juta barel per hari (bph).
Angka lifting sebesar itu akan sangat menentukan besarnya penerimaan negara dari minyak, yang pada gilirannya akan sangat memengaruhi alokasi anggaran dalam APBN. Besar kecilnya belanja pemerintah dan dengan sendirinya angka pertumbuhan ekonomia dengan demikian akan sangat bergantung pada tercapai tidaknya target lifting minyak 1,034 juta bph tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan angka lifting tersebut menjadi titik kritis, tidak hanya dalam konteks pengamanan APBN 2008 saja,tetapi juga dalam pencapaian target pertumbuhan ekonomi 2008. Pertanyaannya, realistiskah target lifting minyak 1,034 juta bph tersebut ataukah hanya menjadi target yang dipaksakan (untuk tujuan politikekonomi tertentu)?
Penurunan Produksi dan Melesetnya Target
Data berikut menunjukkan bahwa tingkat produksi minyak (dan kondensat) sejak 2000 hingga 2007 terus-menerus turun. Sejalan dengan penurunan produksi tersebut, tingkat lifting yang ditargetkan dalam APBN dan sudah mengalami revisi berkali-kali dalam APBN-P dari tahun ke tahun dalam realisasinya ternyata juga lebih sering meleset lebih rendah dari target.
Sebagai contoh, dalam APBN dan APBN-P 2002, dengan target lifting adalah 1,320 dan 1,263 juta bph, realisasinya adalah 1,212 juta bph. Dalam APBN dan APBN-P 2004, target lifting-nya 1,150 dan 1,072 juta bph, realisasinya adalah 1,036 juta bph.
Pada 2006, target liftingdalam APBN dan APBN-P adalah 1,050 dan 1,000 juta bph, realisasinya hanya 950.000 bph. Hal yang sama terulang lagi pada 2007 ini. Dengan penetapan target liftingdalam APBN dan APBN-P 2007 950.000 bph, realisasinya hingga akhir 2007 ini diperkirakan hanya akan mencapai 910.000 bph. Berbagai argumen, baik yang logis,agak logis?maupun yang cenderung mengadaada karena sangat tak jelas korelasinya dikemukakan untuk menjustifikasi fenomena penurunan produksi dan tidak tercapainya target lifting tersebut.
Mulai dari penurunan produksi alamiah karena lapangan yang sudah tua, banyaknya kendala regulasi dan ketentuan pajak yang tidak kondusif untuk investasi eksplorasi dan eksploitasi, kendala operasional di lapangan karena pipa produksi bocor sampai ke gangguan produksi karena adanya bencana alam.
Terlepas dari logis atau tidak logisnya argumen yang dikemukakan, satu hal yang jelas tecermin dari sering melesetnya dan tidak tercapainya target produksi dan lifting minyak di atas adalah lemahnya kemampuan analisis keteknikan (engineering) dan pengelolaan (managerial) dalam mengevaluasi dan memprediksi kinerja lapangan-lapangan minyak yang ada beserta kemungkinan kendala-kendala operasionalnya.
Bagaimanapun, angka target produksi dan lifting (semestinya) tidak muncul begitu saja, tetapi harus didasarkan atas analisis komprehensif yang bersumber dari hitungan- hitungan keteknikan atas kinerja lapangan-lapangan migas yang ada.
Benar bahwa aspek ketidakpastian merupakan salah satu karakteristik dalam industri migas, tetapi dengan kemampuan keteknikan yang memadai, risiko ketidakpastian itu semestinya dapat diminimalkan atau setidaknya di-managed dalam batas-batas toleransi tertentu. Ini yang tidak tecermin dari fakta sering melesetnya (lebih rendahnya) realisasi produksi dan lifting minyak daripada target.(bersambung)
Pri Agung Rakhmanto Direktur Eksekutif Reforminer Institute