Medcom.id; Jum’at, 18 Oktober 2019 12:34
Jakarta: Dalam kurun waktu lima tahun terakhir di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) masih dibayang-bayangi oleh masalah yang sama; defisit minyak dan gas (migas).
Pengamat energi dan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan defisit migas yang besar masih akan menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi Kementerian ESDM di masa selanjutnya. Sektor migas akan tetap defisit sejalan dengan peningkatan kebutuhan energi masyarakat.
Di satu sisi Indonesia memang belum bisa memenuhi kebutuhan energinya sebab keterbatasan pasokan dari produksi migas yang kian menurun. Indonesia masih bergantung pada impor. Hal ini yang menjadikan defisit migas tetap menggerogoti neraca dagang dan transaksi berjalan Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) teranyar mencatat, meskipun menurun, namun angkanya masih relatif tinggi. Defisit migas pada September 2019 sebesar USD761,8 juta cenderung menurun dibandingkan dengan September tahun lalu yang sebesar USD970,4 juta. Sedangkan kumulatif Januari-September 2019 sebesar USD6,4 miliar, menurun dari periode yang sama tahun lalu USD9,5 miliar.
“Permintaan energi terus naik, suplai harus cukup dengan tidak membebani perekonomian. Kalau kondisi sekarang dilakukan, suplai kita akan tidak cukup. Di sisi lain devisa yang dikeluarkan untuk impor akan makin membesar dan akan menjadi tekanan ke stabilitas fiskal maupun moneter,” kata Pri pada Medcom.id.
Artinya, kata dia, perlu dilakukan perbaikan dan peningkatan yang lebih signifikan di sektor ESDM terutama migas.
Berbagai upaya untuk menekan defisit migas diapresiasi, namun tetap harus dipacu untuk dilakukan pembenahan. Salah satunya dengan mendatangkan investasi migas dalam skala yang lebih besar baik untuk kegiatan eksplorasi yang berkaitan dengan produksi di hulu maupun pengembangan kapasitas kilang di hilirnya.
Pri menganggap investasi sebanyak 70 persen yang saat ini dilakukan merupakan operating expenses, yakni untuk melakukan operasi dan investasi yang sebelumnya sudah berjalan. Artinya, kecenderungan masuknya investasi baru di hulu migas masih minim. Sementara di hilir belum ada investasi asing langsung yang masuk untuk mengembangkan kilang.
Menurutnya, investasi menjadi kunci bagi Indonesia untuk memperbesar cadangan dan produksi migas dalam negeri. Dia bilang investasi adalah modal untuk mengembangkan pencarian cadangan baru dari sumber daya alam tanah air yang sangat potensial.
“Kita punya sumber daya besar tapi kalau tidak ada investasi maka akan tetap sebagai sumber daya, makannya butuh investasi untuk mengubah itu semua sebagai cadangan, lalu mengubah itu menjadi produksi,” ujar dia.
Praktisi migas nasional Tumbur Parlindungan memandang investasi di sektor migas sangat penting dalam konteks kedaulatan energi nasional. Pasalnya kebanyakan berasal dari impor, bukan dari hasil produksi dalam negeri.
Mengandalkan impor tentu tidak baik bagi negara. Selain mencederai tujuan kemandirian energi yang ingin diangkat oleh Indonesia, impor pun membebani keuangan negara.
Oleh karena itu, menurut Tumbur, pemupukan cadangan perlu dilakukan dengan memasifkan lagi kegiatan eksplorasi migas di Indonesia. Namun, sayangnya kegiatan ekplorasi terbentur oleh kepastian hukum di Tanah Air yang dinilai belum sepenuhnya mendukung.
Hal ini tentu membuat pengusaha di sektor migas berpikir ulang, sebab untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia penuh risiko. Belum tentu mendapatkan cadangan yang diharapkan kendati telah mengeluarkan dana besar. Untuk itu, dibutuhkan adalah jaminan hukum berinvestasi.
“Harusnya dibantu supaya investor nyaman berinvestasi. Kinesis dari mereka adalah kepastian hukum,” kata Tumbur.
Mantan President Indonesian Petroleum Association (IPA) ini meminta agar jangan ada lagi aturan baru yang bertentangan dengan kontrak yang telah ditandatangani. Tumbur menyarankan agar pemerintah membantu investor agar lebih nyaman berinvestasi.
Presiden Direktur Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan, untuk menggairahkan investasi di sektor hulu migas, perlu impovisasi terutama dari sisi kebijakan. Penyederhanaan regulasi atau kebijakan perlu terus ditingkatkan agar membuat investasi di sektor ini makin atraktif. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka investor akan lebih memilih negara lain untuk menambahkan modalnya.
“Investor kan inginnya satu payung hukum. Kalau bisa dari pusat sampai daerah. Investor bisa memilih, ketika di tempat lain lebih atraktif, mereka bisa pilih yang lebih mudah,” jelas Nanang.
Kendala payung hukum tidak hanya dirasakan oleh sektor migas. Sektor mineral dan batu bara (minerba) juga meminta agar kebijakan tidak cepat berubah mengingat ekplorasi memiliki risiko yang tinggi dan memakan waktu yang panjang.
“Jadi stabilitas kebijakan perlu didorong untuk meningkatkan ekplorasi, khusus kebijakan di sektor perizinan lahan hutan. Juga perlu dukungan insentif,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia.
Selain itu, tidak hanya perlu membenahi sektor migas dan minerba, pemerintah juga diminta konsisten dan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan. Selain bisa mengurangi energi fosil, pengembangan energi terbarukan juga ditujukan untuk pengurangan emisi karbon yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Lebih lanjut, Pemerintah juga perlu konsisten dalam kebijakan reformasi subsidi energi khususnya harga bahan bakar minyak (BBM) Solar yang di awal pemerintahan Jokowi sudah dihapuskan.
Di sisi kelistrikan, sambung Pri, bisa membuat perencanaan yang lebih baik untuk mengantisipasi kejadian pemadaman massal (blackout). Sebab, kejadian blackout sangat berdampak negatif bagi banyak hal, apalagi aktivitas masyarakat saat ini banyak ditopang oleh penggunaan kartu elektronik.