Investordaily, 30 November 2020
Jakarta – Menipisnya margin bisnis gas bumi dinilai bakal menjadi ancaman bagi pembangunan infratruktur gas bumi. Dengan terbatasnya cadangan minyak, sementara cadangan gas masih sangat melimpah, infrastruktur gas sangat dibutuhkan untuk menjaga ketahanan energi nasional.
Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari Reforminer Institute mengatakan, dengan kondisi harga gas yang murah dan diikuti oleh adanya ketidakjelasan pasar, akan membuat tingkat Return of Investment (RoI) dari sebuah proyek pembangunan infrastruktur gas bumi menjadi lama.
“Semakin rendah harga gas, semakin tipis margin yang bisa didapat pengembang. Ini yang akan menyulitkan pelaku usaha sulit membangun infrastruktur baru,” katanya di Jakarta dalam pernyataannya yang diterima redaksi, Minggu (29/11).
Menurutnya penurunan harga gas di tengah masa pandemi belum memberikan dampak signifikan bagi industri pengguna. Sebab, penurunan harga gas itu ikut tidak mendongkrak volume produksi maupun penjualan industri pengguna gas yang saat ini tengah menghadapi pelemahan pasar.
“Tujuan penurunan harga gas memang baik bagi industri, tapi momentumnya tidak tepat,” kata Komaidi.
Menurutnya, penurunan harga gas yang diinisiasi pemerintah lewat Kementerian ESDM sangat terburu-buru. Kebijakan ini terkesan hanya untuk memenuhi peraturan yang sudah lama dibuat tapi tidak kunjung terlaksana. Sebelumnya, kata Komaidi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Dalam Perpres tersebut, pemerintah menetapkan harga gas bumi yang sebelumnya US$ 7 per Million British Termal Unit (MMBTU) diturunkan menjadi US$ 6 per MMBTU. Pada 6 April 2020 Menteri ESDM merilis Peraturan Menteri ESDM No 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Pasal 3 ayat 1 peraturan itu mengatur harga gas bumi tertentu di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) ditetapkan sebesar US$ 6 per MMBTU. Ada tujuh sektor industri yang dapat harga khusus dari kebijakan tersebut, yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan industri sarung tangan karet. Sebagai dampak kebijakan itu pemerintah merelakan jatahnya dari penjualan migas di hulu dipangkas sekitar US$ 2 per MMBTU.
Kebijakan pemerintah memangkas harga gas bumi untuk industri tertentu di level US$ 6 per MMBTU memang jadi bumerang jika tidak didukung insentif bagi pengembang infrastruktur gas bumi. Karena dengan margin yang terbatas, perusahaan akan lebih memilih risiko terendah, yaitu mengelola infrastruktur yang sudah jelas pasokan dan pasarnya.
Masih menurut Komaidi, akan sangat berat jika memaksa perusahaan yang marginnya dipangkas oleh kebijakan pemerintah untuk membangun infrastruktur gas bumi. Kecuali ada insentif yang memberikan solusi bagi pengembang infrastruktur bahwa bisnis mereka tetap sehat ketika ekspansi,” tegas Komaidi.
“Kalau investor melihat investasi di tempat lain, misalnya, bisa dapat IRR 12%, sementara di infrastruktur gas bumi IRR nya lebih rendah, maka tidak akan ada investor yang mau berinvestasi untuk mengembangkan infrastruktur gas,” ujarnya.
Dengan melambatnya pengembangan infrastruktur gas, pada akhirnya target pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik sulit terealisasi karena infrastrukturnya tidak tumbuh
Pembangunan infrastruktur gas bumi memang memiliki risiko yang besar. Selain faktor ketersediaan pasokan, penyerapan gas oleh konsumen juga menjadi risiko bagi pengembang infrastruktur gas bumi. Sementara biaya pembangunan infrastruktur gas sangat mahal.
Banyak infrastruktur gas yang telah dibangun gagal dioptimalkan karena tidak adanya pasokan dan pasar yang seimbang. Yang terjadi kemudian pengembang infrastruktur gas harus menanggung biaya yang mahal. Kondisi ini yang membuat sedikit sekali perusahaan swasta yang mau membangun infrastruktur gas bumi.
Di sisi lain kebijakan harga gas US$ 6 terbukti menguntungkan sejumlah perusahaan swasta. Perusahaan keramik yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI)melaporkan kenaikan laba bersihnya sejak harga baru gas bumi itu diterapkan.
Laba bersih PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) pada kuartal III 2020 melesat 38,31% menjadi Rp 221,5 miliar dibandingkan periode sama 2019. Kenaikan laba itu terjadi di saat pendapatan turun 1,1% menjadi Rp 1,61 triliun. Pengatrol utamanya adalah terpangkasnya beban pokok penjualan sebesar 6,6% jadi Rp 1,12 triliun.