Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com
Investor Daily; Senin, 22 April 2019 | 10:38
Kemudahan izin usaha tercatat menjadi masalah utama sebagian besar kegiatan usaha di Indonesia, termasuk kegiatan usaha hulu migas. Salah satu indikasinya survey kemudahan berusaha (ease of doing business) masih menempatkan peringkat Indonesia jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia.
Masalah perizinan adalah di antara yang menjadi kendala dalam merealisasikan komitmen eksplorasi dalam kegiatan usaha hulu migas. Pada tahun 2015 yang lalu terdapat 41 kegiatan pengeboran yang terhambat akibat perizinan.
Berdasarkan pantauan, pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan masalah perizinan. Melalui Permen ESDM No 29/2017, Kementerian ESDM menyederhanakan jumlah perizinan usaha migas dari sebelumnya sekitar 104 perizinan menjadi tinggal 6 perizinan.
Dengan jumlah tersebut, saat ini hanya terdapat 2 izin usaha hulu migas dan 4 izin usaha hilir migas yang perlu diselesaikan di lingkungan Kementerian ESDM.
Meski izin usaha hulu migas di lingkungan Kementerian ESDM telah disederhanakan, pantauan kami masih menemukan terdapat keluhan mengenai masalah kompleksitas perizinan usaha oleh pelaku industry hulu migas.
Penyederhanaan perizinan yang dilakukan Kementerian ESDM juga dapat dikatakan relative belum secara signifikan terefleksikan dalam peningkatan kegiatan usaha dan investasi hulu migas.
Penyederhanaan parsial
Banyaknya instansi yang terkait dengan kegiatan usaha hulu migas menyebabkan upaya penyederhanaan perizinan yang dilakukan oleh Kementerian ESDM relative belum memberikan dampak yang signifikan. Sebelum tahun 2015 jumlah perizinan usaha migas di lingkungan Kementerian ESDM sekitar 104. Melalui Permen ESDM No 23/2015, Kementerian ESDM kemudian melimpahkan 42 perizinan ke PTSP-BKPM. Selanjutnya pada 2017 melalui Permen ESDM No 29/2017, Kementerian ESDM menyederhanakan perizinan usaha migas menjadi tinggal 6 izin usaha.
Data dan informasi menunjukkan selain harus menyelesaikan perizinan di Kementerian ESDM, kontraktor hulu migas juga harus menyelesaikan perizinan pada Kementerian Keuangan, Kementerian LHK, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian PUPR, Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut, Kepolisian, Badan Per tanahan Nasional, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, dan lambaga swasta sebagai pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHK).
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap upaya Kementerian ESDM, saya menilai penyederhanaan perizinan usaha hulu migas yang telah dilakukan masih parsial dan belum banyak menyentuh akar permasalahan yang ada. Permen ESDM No 29/2017 memang menetapkan perizinan hulu migas hanya ada 2, yaitu izin survei dan izin pemanfaatan data migas.
Akan tetapi, jika ditinjau lebih lanjut, izin tersebut hanya untuk pra-kegiatan eksplorasi. Padahal permasalahan perizinan yang lebih banyak dihadapi kontraktor hulu migas adalah ketika memulai masa eksplorasi sampai dengan eksploitasi.
Karena itu, meski telah disederhanakan di Kementerian ESDM, ketika memulai masa eksplorasi dan eksploitasi, kontraktor hulu migas masih harus berurusan dengan sekitar 373 perizinan yang tersebar pada sekitar 18 kementerian dan lembaga. Perizinan yang harus diselesaikan meliputi izin-izin, dispensasi, rekomendasi, persetujuan, pertimbangan teknis, sertifikasi, dan sejenisnya. Jumlah perizinan yang harus diselesaikan terbagi dalam empat fase. Pada fase survei dan eksplorasi 117 perizinan, pengembangan dan konstruksi 137 perizinan, produksi 109 perizinan, dan pascaoperasi 10 perizinan.
Mekanisme dan tahapan perizinan yang diberlakukan oleh instansi di luar Kementerian ESDM untuk semua sektor adalah sama, termasuk untuk kegiatan usaha hulu migas. Dalam hal ini kegiatan usaha hulu migas harus mengikuti ketentuan, proses, dan tahapan perizinan yang diatur dalam regulasi di masingmasing sektor atau instansi yang mengeluarkan perizinan. Apalagi jika UU Migas yang menjadi payung hokum pengusahaan tidak menetapkan bahwa kegiatan usaha hulu migas adalah lex specialis.
Dalam konstruksi regulasi yang ada saat ini, peluang instansi terkait kegiatan usaha hulu migas untuk melakukan penyederhanaan perizinan seperti yang dilakukan Kementerian ESDM dapat dikatakan relatif kecil. Karena itu, sepanjang belum ada perbaikan regulasi penyelesaian revisi UU Migas dan/atau terobosan yang dilakukan pemerintah, permasalahan perizinan yang dihadapi oleh kontraktor hulu migas kemungkinan masih akan sama, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Dalam kondisi yang ada tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi permasalahan perizinan hulu migas di antaranya adalah mengoptimalkan peran dan fungsi SKK Migas. Mekanisme perizinan usaha hulu migas satu pintu melalui SKK Migas akan banyak membantu di dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas. Jika dapat dilaksanakan, akan terdapat pembagian peran, SKK Migas bertugas menyelesaikan perizinan, sementara kontraktor akan lebih banyak mengalokasikan tenaga dan waktu mereka untuk meningkatkan cadangan dan produksi migas.