Liputan6.com, 09 Maret 2022
Liputan6.com, Jakarta Pengamat energi Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan, penyelesaian revisi Undang-Undang Minyak dan gas (Migas) menjadi keharusan untuk memperbaiki kinerja sektor migas.
“UU Migas No.22/2001 memiliki persoalan fundamental baik dalam aspek konstitusional maupun aspek pengusahaan hingga tingkatan operasionalnya,†kata Komaidi dikutip dari Laporan ReforMiner Note, Rabu (9/3/2022).
Dari aspek konstitusional, revisi UU Migas No.22/2001 telah diamanatkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No.002/PUUI/2003, Putusan MK No.20/PUU.V/2007, dan Putusan MK No.36/PUU.X/2012.
“Revisi UU Migas No.22/2001 merupakan inisiatif DPR yang dimulai sejak 2008 berdasarkan keputusan Panitia Hak Angket BBM. Proses revisi UU Migas No.22/2001 yang berlarut-larut tidak hanya dapat berdampak negatif pada kinerja sektor migas tetapi juga pada kredibilitas DPR,†ujarnya.
Menurutnya, revisi UU Migas No.22/2001 diperlukan untuk secara fundamental menyelesaikan permasalahan regulasi di sektor hulu migas. Putusan MK No.36/PUU.X/2012 yang membatalkan seluruh ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan kedudukan BP Migas menimbulkan lubang besar pada UU Migas No.22/2001 dan oleh karenanya mendesak untuk direvisi.
Selain itu, proses revisi UU Migas No.22/2001 yang tidak kunjung selesai memberikan sejumlah konsekuensi terhadap kegiatan usaha hulu migas, diantaranya menimbulkan ketidakpastian hukum; menimbulkan ketidakpastian fiskal; dan menyebabkan proses birokrasi/ izin menjadi rumit.