JAKARTA – Disahkannya revisi rencana pengembangan (POD-I) Proyek LNG Abadi, Blok Masela, pada Juli 2019, seakan menjadi angin segar dan kemajuan proyek strategis nasional yang konon mangkrak 20 tahun itu.
Tak lama setelah revisi POD I disahkan, Inpex Corporation dan Shell Upstream Overseas Ltd menandatangani kontrak amandemen bagi hasil Cost Recovery termasuk waktu tambahan 7 tahun alokasi dan perpanjangan Proyek LNG Abadi dengan SKK Migas, pada Oktober 2019.
Perkembangan terakhir, SKK Migas telah menerbitkan SK Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pelabuhan Kilang LNG Abadi pada 1 Juni 2020.
Tidak hanya itu, tender FEED onshore LNG, FPSO, Gas Export Pipeline (GEP) dan Subsea Umbilical, Riser dan Flowline (SURF) sedang berlangsung.
Terlepas dari persiapan teknis, Proyek LNG Abadi yang diprediksi menghasilkan gas alam cair (LNG) sebesar 9,5 juta ton per tahun (mtpa) dan gas pipa sebanyak 150 juta kaki kubik per hari (mmscfd), perlu pembeli.
Inpex pun harus mendapatkan kepastian pembeli gas dari Lapangan Abadi harus didapatkan sebelum proses keputusan akhir investasi (FID).
Soal pembeli, sebenarnya beberapa perusahaan nasional punya peluang untuk menyerap gas dari Masela. Februari lalu, Inpex meneken nota kesepahaman dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pupuk Indonesia untuk memasok kebutuhan gas.
Dalam perjanjian yang diteken pada Rabu (19/2/2020), Inpex akan memasok gas untuk LNG ke pembangkit listrik tenaga gas yang dioperasikan oleh PLN dan gas alam sebesar 150 juta standard kaki kubik per hari (mmscfd) untuk kilang co-production yang akan dibangun PT Pupuk Indonesia.
Selain itu? Itulah yang kita nantikan. Dalam mencari pembeli, Inpex tak sendiri, SKK Migas ikut membantu mencarikan penyerap produksi migas dari Lapangan Abadi.
Di tengah isu sepinya pembeli, kabar Shell hengkang dari Blok Masela muncul ke permukaan. Sebenarnya ini isu lama, atau pernah digaungkan pada tahun lalu, sebelum revisi POD-I disahkan pemerintah.
Soal divestasi saham oleh investor, Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan untuk formalnya, mekanisme nya kan harus melalui pengalihan hak partisipasi (PI) harus mendapat persetujuan Menteri.
Menurutnya, jika memang benar Shell angkat kaki dari Maluku, maka akan makin tidak mudah untuk bisa mengembangkan Masela.
“Faktor partner ini akan makin menambah kompleksitas permasalahan yg sebelumnya sudah ada, yaitu dimana kepastian tentang siapa pembeli gas dari hasil produksi blok Masea ini juga belum jelas,†katanya saat dihubungi Bisnis, Selasa (21/7/2020).
Disisi lain, kondisi pasar LNG global dalam lima tahun ke depan juga sedang dalam kondisi oversupply dengan harga yang rendah, biaya dan keekonomian pengembangan Masela nantinya belum tentu masih akan kompetitif.
Berdasarkan riset Rystad Energi pada Juli 2020 yang dikutip SKK Migas, harga gas dunia saat ini terpuruk karena rendahnya permintaan. Dalam jangka pendek, harga gas akan mencapai puncaknya pada 2024, karena penundaan beberapa FID global saat ini.
Sayangnya, risiko penurunan harga akan terjadi pada 2027 kerika pasokan baru tiba. Namun, penurunan harga terbatas ini, hanya berdampak pada beberapa proyek saja.
Pri Agung mengamini riset tersebut, rendahnya harga gas saat ini, dipengaruhi rendahnya permintaan karena pandemi. Hanya saja, bicara proyek yang diperkirakan berproduksi pada 2026 ini, hal terpenting dalam tahapan pengembangan blok masela adalah kepastian tentang kontrak jual beli gas (PJBG).
“Sebetulnya itu yang lebih penting, terlepas sejak awal Shell akan ikut atau tidak. Tanpa itu [PJBG], pengembangan Masela tidak akan berlanjut,†tambahnya.
Kepastian pembeli gas menjadi segalanya, termasuk menentukan waktu proyek ini berproduksi. Pri Agung mengungkapkan, semakin sulit mencari pasar, semakin tinggi ketidakpastian terkait proyek tersebut.
Untuk itu, Founder Reforminer Institute ini, menyarankan antisipasi yang lebih responsif dari pihak yang terkait, khsusunya pemerintah untuk mencari alternatif serapan domestik.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan kendala mengenai harga gas menjadi jadi bahasan pokok untuk melihat bagaimana proyek Masela ke depan. Sejauh ini, lanjutnya, SKK Migas terus berkoordinasi dengan Inpex soal pelaksanaan proyek LNG Abadi.
“Baik Inpex maupun Shell, terlepas dari program [perusahaan] mereka, keduanya menyatakan komitmen untuk mendukung Proyek LNG Abadi. Ini menjadi penting bagi kita untuk proyek tetap berjalan,” tambahnya dalam paparan Kinerja Hulu Migas Semester I/2020, Jumat (17/7/2020).
Adapun, terkait potensi divestasi saham Shell di Blok Masela, Dwi menampik penyebabnya soal pengembangan proyek offshore ataupun onshore. Menurutnya, lebih pada perubahan portofolio Shell secara global. Soal kemungkinan divestasi, SKK Migas menyebut prosesnya akan berjalan sekitar 1,5 tahun ke depan.
“Jika proses [divestasi] berlanjut, paling lambat 2021 harus sudah selesai. [kalau] ada partner baru, kami tentu tetap mengacu ketentuan, harus seizin pemerintah,”
Sebelumnya, Inpex Masela Ltd. menyatakan komitmennya untuk kelanjutan pengerjaan proyek Blok Masela.
Act. Corporate Communication Manager Inpex Masela Moch N. Kurniawan mengatakan pada saat ini pihaknya masih berfokus pada pengembangan Proyek LNG Abadi.
Dia menambahkan, dengan dukungan pemerintah, pihaknya yakin proyek tersebut akan terus berlanjut.
“Kami secara aktif bekerja melaksanakan POD yang disetujui oleh pemerintah Indonesia,” katanya.
Shell belum berkomentar banyak soal masa depannya Blok Masela. Rhea Sianipar, VP External Relation Shell Indonesia mengatakan bahwa pihaknya enggan mengomentari kabar mundurnya Shell Indonesia dari kemitraannya dengan Inpex.
“Terkait pertanyaan diatas [kemitraan dengan Inpex di Masela], belum ada komentar,” katanya.
Hanya saja, sebelumnya, dalam laporan Rystad Energy (18/11/2019), Shell memang berenana melakukan divestasi aset senilai US$10 miliar pada 2021.
Menurut laporan tersebut, Shell sedang mencari jalan keluar dari proyek LNG Abadi. Diharapkan Shell mendapatkan US$1 miliar – US$1,6 miliar atas divestasi tersebut.