Pri Agung Rakhmanto
Kompas, 28 April 2006
Sampai akhir tahun 1980-an, melonjaknya harga minyak mentah dunia masih memberikan windfall profit yang sangat membantu keuangan negara. Tetapi, di penghujung tahun 1990-an, dan kini, tingginya harga minyak justru memberikan beban yang sangat berat bagi negara.
Dampaknya tak hanya terjadi pada membengkaknya beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang harus ditanggung pemerintah, tetapi juga hampir ke semua sektor perekonomian.
Implikasi kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik (TDL), dan juga elpiji dalam lima tahun terakhir secara langsung maupun tak langsung telah memperlambat jalannya roda perekonomian. Penyebabnya tak lain adalah karena semakin hari impor minyak dan BBM kita semakin besar.
Data Ditjen Migas tahun 2004 menunjukkan bahwa impor minyak mencapai 406.000 barrel per hari, sekitar 38,4 persen dari kebutuhan minyak mentah nasional yang sebesar 1,055 juta barrel per hari (total kapasitas kilang nasional). Sementara itu, impor BBM mencapai 342.000 barrel per hari atau sekitar 25,3 persen dari kebutuhan dalam negeri. Impor BBM sampai saat ini masih tak dapat dihindari karena keterbatasan kapasitas kilang dalam negeri.
Kalau impor BBM tidak dapat dihindari, bagaimana dengan impor minyak mentah? Sebagai negara penghasil minyak anggota OPEC, mengapa kita sampai harus mengimpor minyak dalam jumlah yang sedemikian besar? Jawabannya tak lain adalah karena kita juga tetap mengekspor sebagian (rata-rata lebih dari 40 persen) dari produksi minyak kita sendiri. Volume ekspor minyak kita di tahun 2004 adalah 491.000 barrel per hari, sekitar 44 persen dari produksi 1,096 juta barrel per hari.
Dari sini muncul pertanyaan yang sangat mendasar. Mengapa harus impor? Untuk apa kita mengekspor minyak sejumlah itu kalau toh akhirnya juga mengimpor kembali dalam jumlah yang hampir sama? (selisih volume ekspor- impor minyak dari tahun ke tahun semakin tipis).
Mengapa pola ekspor-impor semacam ini masih juga dipertahankan? Tidakkah akan lebih baik jika kita mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ketika ada sisa baru kita mengekspornya? Dengan kata lain, untuk tahun 2004, volume minyak yang diekspor seharusnya hanya 41.000 barrel per hari saja (selisih produksi dan kapasitas kilang), bukan sebesar 491.000 barrel per hari.
Jawaban dari pertanyaan di atas yang selama ini berkembang di masyarakat adalah bahwa kita tetap mempertahankan pola ekspor-impor tersebut karena kualitas minyak kita bagus dan harganya tinggi. Dengan demikian, negara akan lebih diuntungkan dengan melakukan ekspor-impor minyak. Minyak yang diekspor cukup diganti (ditukar) dengan minyak impor yang harganya lebih murah. Jawaban lain yang juga cukup mengemuka adalah bahwa spesifikasi kilang kita tidak cocok dengan jenis minyak yang kita punya. Dengan demikian, kita tetap harus mengekspor dan menggantinya dengan jenis minyak impor yang cocok dengan spesifikasi kilang yang ada.
Benarkan demikian? Dan benarkah sesederhana itu persoalannya? Sebelum menjawabnya mungkin ada baiknya bila kita cermati beberapa data berikut. Dari data dan perhitungan yang ada, terlihat bahwa biaya impor minyak mentah untuk setiap barrelnya ternyata selalu lebih mahal daripada harga ekspornya. Selama kurun waktu itu dapat kita lihat bahwa selisih antara biaya impor dan harga ekspor minyak kita berkisar 0,68 dollar AS-3,23 dollar AS per barrelnya.
Berdasarkan data itu, terlihat bahwa sebenarnya negara dirugikan setiap tahunnya dari aktivitas ekspor-impor minyak ini. Kalau kita ambil contoh perhitungan dari data tahun 2004 saja, kerugian negara mencapai Rp 4 triliun lebih (asumsi kurs Rp 9.000 per dollar AS).
Hitungan sederhananya adalah dengan mengalikan selisih biaya impor dan harga ekspor per barrelnya (39-36 USD = 3 USD) dengan volume impor saat itu (406.000 barrel per hari). Dengan cara yang sama dapat kita hitung berapa banyak kerugian yang telah ditanggung negara akibat ekspor-impor minyak ini.
Berdasarkan hal ini, argumen yang selama ini mengatakan bahwa negara lebih diuntungkan karena harga minyak impor lebih murah dibandingkan minyak yang diekspor rasanya dapat kita pertanyakan kembali. Bisa jadi memang minyak yang diimpor harganya lebih murah, tetapi setelah ditambah biaya transportasi, asuransi, dan biaya-biaya lain, jatuhnya menjadi lebih mahal.
Jika spesifikasi kilang yang kita miliki memang fixed dan khusus, sehingga dikatakan hanya dapat mengolah minyak impor tertentu saja, semestinya jenis minyak yang kita impor dari tahun ke tahun juga sama (tetap). Akan tetapi, data yang ada (juga dari Ditjen Migas) menunjukkan bahwa jenis minyak yang kita impor dari tahun ke tahun tidak selalu sama. Dari kilang-kilang yang ada, kilang Cilacap dan Balikpapan yang selama ini mengolah minyak impor.
Kedua kilang ini dapat dikatakan merupakan kilang utama dengan total kapasitas 608.000 barrel per hari. Kilang-kilang lainnya, yaitu Pangkalan Brandan, Dumai, Sungai Pakning, Musi, Balongan, Kasim, dan Cepu (total kapasitas 449.000 barrel per hari) sering disebut sebagai kilang mandiri karena hanya mengolah minyak dalam negeri. Argumen yang selama ini mengatakan bahwa ekspor-impor minyak harus dilakukan karena karakteristik kilang yang ada sudah fixed dan spesifik (sehingga tidak cocok untuk minyak Indonesia) bisa kita pertanyakan.
Dari data dan perhitungan yang ada, dan juga mengingat tingkat ketidakpastian yang tinggi dari pasar minyak dunia, tidak salah jika muncul pertanyaan ; Masihkah kita tetap akan mempertahankan pola ekspor-impor minyak sebagaimana yang sudah kita lakukan selama bertahun- tahun itu? Jawabannya, terpulang kepada pemerintah. Kalau kita lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan domestik, dalam arti hanya mengekspor sejumlah selisih produksi dan kapasitas kilang saja, tentu ada “costs”‘ (politik ekonomi) yang harus dibayar. Penghematan keuangan negara sebesar Rp 3 triliun-Rp 4 triliun per tahun sangat berarti bagi perekonomian nasional.
Pri Agung Rakhmanto Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Politik di Universiteit Twente, Belanda.