CNNIndonesia; 16 Juli 2024
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menangkap kekisruhan subsidi energi menjadi hal kesekian kali yang terjadi. Terlebih, sektor ini acapkali diutak-atik negara saat fiskal sedang tak sehat.
Ia menegaskan ada masalah yang jelas terlihat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Komaidi menyebut potensi defisit yang akan dicatat di 2024 ini makin besar, mengingat penerimaan negara merosot saat belanja terus bengkak.
“Nambahnya (belanja negara) kan ada beberapa variabel, salah satunya belanja subsidi. Lebih khusus lagi, energi dengan harga minyak dan gas yang tinggi tentu lebih tinggi dari asumsi APBN 2024. Jadi lebih besar,” tuturnya.
“Sementara, penerimaannya kan Kementerian Keuangan memberikan sinyal ada beberapa target yang gak tercapai. Artinya, defisitnya semakin besar. Salah satu upaya menambal itu kan seringkali yang diutak-atik (subsidi) BBM,” imbuh Komaidi.
Komaidi tak menutup mata bahwa pemerintahan Presiden Jokowi tinggal beberapa bulan lagi. Ia meyakini pasti sang Kepala Negara ingin melakukan soft landing alias menutup semuanya dengan paripurna dan aman.
Jokowi ia nilai tak mau menimbulkan gejolak di akhir kepemimpinannya. Misalnya, ketika seharusnya menaikkan harga BBM, pilihan tersebut tak diambil.
“Sehingga yang dilakukan adalah pembatasan. Kalau pembatasan kan dari waktu ke waktu sudah ada contohnya, sebetulnya sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah dilakukan di 2006. Kemudian, ketika harga minyak tinggi, pembatasan itu wacananya dikemukakan, macam-macam skemanya,” jelas Komaidi.
“Tapi sampai saat ini kan kalau mau disampaikan secara proporsional hasilnya relatif gak maksimal. Kalau dibilang gak ada hasilnya, gak juga, tapi mungkin tidak maksimal. Bahkan, antara biaya dan hasilnya, mungkin biaya 100 menghasilkan 100, akhirnya habis juga. Jadi, hiruk pikuknya lebih banyak didapat dibandingkan penghematan fiskal,” tambahnya.
Saat APBN tak baik-baik saja, revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tidak jelas nasibnya sampai sekarang. Pengamat Energi Unpad Yayan Satyakti menegaskan keputusan ini sangat kental dengan unsur politis.
Yayan menekankan subsidi BBM memang objek politik. Padahal, ada kerentanan harga minyak global dan logistik internasional.
“Lebih baik kita fokus kepada efektivitas BBM yang ada atau melakukan efisiensi dengan mengurangi subsidi, tetapi dialihkan ke subsidi yang lebih produktif,” saran Yayan.
“Mungkin yang paling prioritas sekarang, yaitu efisien APBN. Alokasikan pertalite sesuai dengan kuota APBN, prioritaskan di wilayah yang berpendapatan rendah dan miskin. BBM solar harus tetap ada karena para nelayan gurem di perkampungan nelayan masih banyak yang membutuhkan,” tambahnya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menangkap kekisruhan subsidi energi menjadi hal kesekian kali yang terjadi. Terlebih, sektor ini acapkali diutak-atik negara saat fiskal sedang tak sehat.
Ia menegaskan ada masalah yang jelas terlihat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Komaidi menyebut potensi defisit yang akan dicatat di 2024 ini makin besar, mengingat penerimaan negara merosot saat belanja terus bengkak.
“Nambahnya (belanja negara) kan ada beberapa variabel, salah satunya belanja subsidi. Lebih khusus lagi, energi dengan harga minyak dan gas yang tinggi tentu lebih tinggi dari asumsi APBN 2024. Jadi lebih besar,” tuturnya.
“Sementara, penerimaannya kan Kementerian Keuangan memberikan sinyal ada beberapa target yang gak tercapai. Artinya, defisitnya semakin besar. Salah satu upaya menambal itu kan seringkali yang diutak-atik (subsidi) BBM,” imbuh Komaidi.
Komaidi tak menutup mata bahwa pemerintahan Presiden Jokowi tinggal beberapa bulan lagi. Ia meyakini pasti sang Kepala Negara ingin melakukan soft landing alias menutup semuanya dengan paripurna dan aman.
Jokowi ia nilai tak mau menimbulkan gejolak di akhir kepemimpinannya. Misalnya, ketika seharusnya menaikkan harga BBM, pilihan tersebut tak diambil.
“Sehingga yang dilakukan adalah pembatasan. Kalau pembatasan kan dari waktu ke waktu sudah ada contohnya, sebetulnya sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah dilakukan di 2006. Kemudian, ketika harga minyak tinggi, pembatasan itu wacananya dikemukakan, macam-macam skemanya,” jelas Komaidi.
“Tapi sampai saat ini kan kalau mau disampaikan secara proporsional hasilnya relatif gak maksimal. Kalau dibilang gak ada hasilnya, gak juga, tapi mungkin tidak maksimal. Bahkan, antara biaya dan hasilnya, mungkin biaya 100 menghasilkan 100, akhirnya habis juga. Jadi, hiruk pikuknya lebih banyak didapat dibandingkan penghematan fiskal,” tambahnya.
Saat APBN tak baik-baik saja, revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tidak jelas nasibnya sampai sekarang. Pengamat Energi Unpad Yayan Satyakti menegaskan keputusan ini sangat kental dengan unsur politis.
Yayan menekankan subsidi BBM memang objek politik. Padahal, ada kerentanan harga minyak global dan logistik internasional.
“Lebih baik kita fokus kepada efektivitas BBM yang ada atau melakukan efisiensi dengan mengurangi subsidi, tetapi dialihkan ke subsidi yang lebih produktif,” saran Yayan.
“Mungkin yang paling prioritas sekarang, yaitu efisien APBN. Alokasikan pertalite sesuai dengan kuota APBN, prioritaskan di wilayah yang berpendapatan rendah dan miskin. BBM solar harus tetap ada karena para nelayan gurem di perkampungan nelayan masih banyak yang membutuhkan,” tambahnya.