CNN Indonesia, 12 Juni 2020
Jakarta, CNN Indonesia — Koalisi Masyarakat Penggugat Harga BBM melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) ihwal harga jual bensin yang tidak kunjung turun di tengah anjloknya harga minyak mentah.
Abdurrahman Syebubakar, salah satu anggota koalisi, menuding kebijakan pemerintah menahan harga BBM telah merampas uang rakyat. Berdasarkan hitungan-hitungannya, total kelebihan bayar yang ditanggung masyarakat sejak harga dunia jatuh mencapai Rp13,7 triliun.
Karenanya, lewat surat somasi yang dikirim kepada sekretariat negara pada 9 Juni 2020 lalu, koalisi itu mengancam bakal menggugat pemerintah ke pengadilan jika dalam waktu sepekan harga BBM belum diturunkan.
Tapi, mungkinkah gertakan itu akan menciutkan nyali pemerintah dan berhasil bikin harga BBM turun?
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan koalisi sebelum menempuh langkah hukum. Pertama, tak ada regulasi yang mewajibkan pemerintah untuk menurunkan harga BBM.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 kewenangan penetapan harga minyak dan gas sepenuhnya berada di tangan pemerintah.
“Berdasarkan ketentuan tersebut pemerintah diperbolehkan untuk tidak mengikuti mekanisme pasar,” kata Komaidi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (12/6).
Formula penentuan harga BBM eceran yang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2014 memang mengacu pada indeks pasar dan nilai tukar rupiah. Tapi, sambung Komaidi, penentuan harga bisa disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan pada kondisi kebijakan tersebut diambil.
“Kalau secara hitungan biaya produksi, memang ada peluang untuk harga turun. Namun, dalam kondisi tidak normal seperti saat ini, saya kira banyak aspek yang menjadi pertimbangan,” tuturnya.
Salah satu aspek yang juga dipertimbangkan pemerintah adalah beban fiskal untuk penanganan dampak covid-19. Pemerintah memilih untuk memangkas subsidi BBM Rp1,4 triliun di tengah menurunnya harga minyak dunia (ICP) ketimbang menyesuaikan harga BBM secara keseluruhan.
“Harga BBM tidak diturunkan dengan tujuan selisih harga dialokasikan untuk keperluan penanganan covid-19, dan saya kira itu yang terjadi saat ini,” imbuh Komaidi.
Kedua, bentuk dan objek gugatan yang akan diajukan terhadap pemerintah. Sebab, sepengetahuannya selama ini, tuntutan masyarakat sampai ke pengadilan hanya terkait pembatalan kenaikan harga BBM.
“Kalau protes harga enggak turun, setahu saya tidak sampai masuk dalam gugatan. Namun, langkah tersebut juga menjadi hak warga negara, biar nanti pengadilan yang memutuskan,” jelasnya.
Pakar Hukum dan Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran Indra Perwira berpendapat gugatan yang paling mungkin diajukan koalisi terhadap sikap pemerintah yang enggan menurunkan harga eceran BBM adalah class action.
Namun, ia menilai peluang penggugat untuk menang dari pemerintah dalam kasus ini kecil. Ada sejumlah alasan yang mendasari prediksi tersebut, salah satunya asas legalitas untuk menguji tindakan pemerintah.
Dalam hal ini, menurut Indra, koalisi akan sulit merumuskan tindakan pemerintah yang merugikan atau melanggar hak warga di tingkat mana pun.
Apalagi, dalam kasus-kasus sebelumnya, objek gugatan adalah keputusan pemerintah yang tak sesuai peraturan perundang-undangan.
“Ini sesuatu yang baru karena biasanya kan class action itu terhadap keputusan yang diambil. Bukan terhadap tindakan tidak mengambil keputusan. Walaupun dalam hukum administrasi memang dikembangkan secara doktrin bahwa tindakan itu termasuk tidak melakukan,” terang dia.
Di sisi lain, pemerintah bisa berdalih telah menggunakan asas diskresi dalam pengambilan keputusan karena tak bertentangan dengan asas legalitas dan asas yuridiktas, di mana tak ada ketentuan hukum yang dilanggar ketika harga BBM tak diturunkan.
“Dalam pembuktiannya agak riskan. Karena kalau tindakan itu tidak dilakukan, kan, punya dua makna: tidak atau belum. Bisa saja pemerintah memang punya niat menurunkan, tapi itu belum dilakukan,” tegas Indra.
“Jadi, saya kira, apakah punya peluang untuk menang atau tidak, agak berat untuk menang,” ucapnya.
Sementara itu, Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi berharap pemerintah dapat segera menurunkan harga BBM terlepas dari ada tidaknya somasi yang dilontarkan koalisi penggugat.
Hal tersebut, sambung dia, tak hanya baik bagi untuk mendorong daya beli masyarakat di tengah krisis ekonomi akibat covid-19, melainkan juga citra pemerintah di mata masyarakat.
Pasalnya, selama ini, pemerintah cenderung tanggap untuk menaikkan harga BBM ketika harga minyak mentah terkerek.
“Selama ini kalau harga naik Pertamina sigap naikkan harga, tapi ketika turun melempar ke pemerintah dan mengikuti aturan pemerintah. Saya kira ini tidak fair, apalagi di tengah kondisi daya beli melemah seperti ini,” tandas Fahmi.