Pri Agung Rakhmanto:
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Tempo.co: Rabu, 29 Juni 2016
Bagi Indonesia, di hilir, harga minyak rendah membawa berkah. Alokasi anggaran subsidi energi (BBM dan listrik) yang sekitar Rp 200 triliun dapat dihemat. Harga BBM dalam negeri akan turun dan relatif terjangkau masyarakat.
Di hulu, situasinya berbeda. Harga minyak rendah telah membuat penerimaan negara dari migas di APBN berkurang secara drastis dari di atas Rp 320 triliun pada 2014 menjadi hanya di kisaran Rp 177 triliun pada 2015. Dalam APBN 2016, penerimaan migas diperkirakan akan lebih turun lagi, yaitu di kisaran Rp 120 triliun. Sebagaimana yang juga terjadi di tingkat global, industri hulu migas nasional juga beramai-ramai memangkas belanja modal 20-30 persen dari level belanja modal pada 2014-2015. Aktivitas operasi lebih banyak difokuskan pada kegiatan perawatan sumur dan pengeboran sumur pengembangan untuk sekadar mempertahankan atau mengurangi laju penurunan tingkat produksi. Aktivitas eksplorasi sangat minim dan semakin tidak mendapatkan porsi perhatian.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada 2015 tercatat hanya ada pengeboran 52 sumur yang menghasilkan 15 temuan cadangan baru, jauh di bawah pengeboran 83 sumur dengan 25 temuan cadangan pada 2014. Jumlah pengeboran pada 2015 secara keseluruhan pun semakin rendah dibanding rata-rata pengeboran pada 2011-2013 yang mencapai 104 sumur. Akibatnya, hanya dalam rentang satu tahun terakhir saja cadangan minyak sudah menurun 4 persen. Saat ini cadangan terbukti minyak jumlahnya tak sampai 3,7 miliar barel.
Harga minyak rendah juga telah memaksa sebagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) melakukan reorganisasi, restrukturisasi, dan mengurangi jumlah pegawai, termasuk melalui penawaran skema pensiun dini. Sebagian K3S juga melepas hak pengelolaan blok dengan menjual porsi saham partisipasinya. Sebagian lagi menunda rencana pengembangan sambil menunggu pulihnya harga. Dalam salah satu skenario hitungan pemerintah, jika harga minyak hanya di kisaran US$ 30 per barel, produksi terjual (lifting) minyak nasional tidak akan bisa mencapai 800 ribu barel per hari. Imbas harga minyak rendah di hulu dapat dikatakan telah membuat sektor hulu migas nasional beroperasi dalam keadaan mode darurat.
Pemerintah bukan tak menyadari hal itu. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan Direktorat Jenderal Migas mengklaim telah melakukan sejumlah upaya, seperti (1) Efisiensi biaya melalui optimasi kegiatan pengembangan, memperbanyak kegiatan pengolahan kembali dan perawatan sumur, penggunaan fasilitas bersama, dan negosiasi harga dalam penyediaan barang dan jasa. Hal itu diklaim sudah dilakukan sejak tahun lalu dan telah menghasilkan penghematan sekitar 6,12%; (2) Mempermudah birokrasi perizinan dan mengkaji perubahan fiskal; (3) Mengantisipasi masalah tenaga kerja melalui penundaan rekrutmen baru, skema pensiun alami dan pengunduran dini sukarela, serta efisiensi biaya pelatihan dan perjalanan dinas; dan (4) Meningkatkan koordinasi dengan instansi pemerintah lainnya terkait dengan implementasi peraturan dan perizinan.
Apa yang pemerintah klaim sebagai upaya untuk menghadapi tantangan harga minyak rendah tersebut sudah cukup tepat dan positif. Sayangnya, hal di atas sebagian besar masih lebih bersifat normatif. Sebagian besar belum dielaborasi secara lebih rinci dan konkret. Sebagian juga hanya merupakan bagian dari kebijakan lama yang belum sepenuhnya dijalankan.
Dalam kondisi harga minyak rendah seperti saat ini, sektor hulu migas jelas membutuhkan kebijakan terobosan dan langkah penyelamatan yang lebih konkret. Dalam masalah pembebasan lahan, misalnya, sangat diharapkan hal itu dilakukan oleh pemerintah, bukan K3S. Dalam aspek perpajakan, perlakuan pajak lex specialis sangat diharapkan untuk dapat diterapkan kembali secara konsisten, sehingga bagi hasil untuk pemerintah hanya didapatkan dari bagian pemerintah terhadap ekuitas migas tersebut ditambah pajak terhadap perusahaan induk dan anak perusahaan di Indonesia, dan pihak pemerintah menanggung serta membebaskan pajak lainnya.
Dalam hal insentif fiskal lainnya, penghapusan sistem perhitungan pendapatan dan biaya (ring-fencing) pada wilayah kontrak tertentu yang sudah memasuki masa produksi mungkin dapat dicoba untuk periode tertentu. Sebaliknya, bagi K3S yang masih dalam masa eksplorasi, sistem ring-fencing dapat tetap diterapkan tapi diperbolehkan untuk melakukan kegiatan eksplorasi pada lebih dari satu area kontrak. Skema bagi hasil yang tidak statis, tapi dikaitkan dengan level harga minyak dan atau level produksi juga semestinya mulai dapat diterapkan pemerintah untuk memberikan insentif fiskal yang lebih menarik.
Yang tidak kalah pentingnya adalah perhatian dan komitmen Presiden RI untuk turun tangan secara langsung menyelesaikan permasalahan hulu migas. Misalnya, permasalahan tersebut sudah sangat multi-sektoral dan multi-tingkatan pemerintahan, sehingga sudah tidak cukup lagi ditangani pejabat setingkat menteri. Contohnya, ada ketidakpastian aturan main karena lemahnya payung hukum UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang sebagian besar pasalnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian secara lebih progresif memerlukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.