Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti,Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia
Bisnis Indonesia; Senin 08 Mei 2017
Pemerintah sejak 13 Januari 2017 lalu menerapkan kebijakan kontrak bagi hasil gross split pada kegiatan usaha hulu migas. Penerapan kebijakan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 08/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split .
Sebagai sebuah kebijakan baru, dalam kondisi dimana elemen-elemen pendukungnya seperti kejelasan dan detail dari peraturan yang mendasarinya belum sepenuhnya siap, implementasi kontrak bagi hasil gross split tergolong sangat cepat.
Secara umum, penerapan kontrak bagi hasil gross split dapat dikatakan telah dapat berjalan, namun masih menyisakan beberapa pertanyaan mendasar menyangkut substansi konseptualnya dan persoalan teknis di tingkat operasionalisasinya.
Permen ESDM No. 08/2017 masih memiliki celah kekurangan atas kedua aspek tersebut, di antaranya belum mengatur secara jelas bagaimana perlakuan terhadap investasi yang telah dikeluarkan kontraktor pada pengelolaan blok migas yang beralih menggunakan kontrak bagi hasil gross split.
Oleh pemerintah persoalan ini diatasi dengan menerbitkan Permen ESDM No. 26/2017 tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pada akhir Maret lalu.
Namun, tetap menyisakan persoalan. Jika terdapat ketentuan di dalam kedua peraturan tersebut yang saling tidak bersesuaian, misalnya penambahan atau pengurangan angka split sebagai konsekuensi dari pengembalian investasi, tidakkah hal ini semakin menambah ketidakpastian?
Dalam hal kepemilikan aset, Pasal 21 Permen tersebut menyebutkan seluruh barang dan peralatan yang dibeli kontraktor untuk kegiatan usaha hulu migas secara langsung menjadi milik/kekayaan negara yang pembinaannya dilakukan pemerintah dan dikelola SKK Migas.”
Ditinjau dari pertimbangan bahwa di dalam kontrak pengusahaan migas negara masih harus tetap menjadi pemilik sumber daya alam dan pemegang kedaulatan, ketentuan pasal ini dapat dipahami. Namun, ditinjau dari sisi filosofi kontrak bagi hasil gross split yang lazim, ketentuan ini dapat dibaca sebagai sebuah inkonsistensi atau bentuk ketidaklaziinan dari sistem gross split.
Secara sederhana, dalam sistem gross split yang lazim sebagaimana layaknya sistem yang mendasarkan pada tax-royalty, karena biaya dan investasi sepenuhnya ditanggung kontraktor dan negara tidak ikut menanggunya melalui mekanisme penggantian biaya. Menjadi logis jika kemudiah barang dan peralatan tersebut juga tidak dimiliki negara.
Dalam hal pemberlakuan kontrak, dalam pasal 24 ditetapkan bahwa gross split diberlakukan terhadap wilayah kerja yang akan berakhir jangka waktu kontraknya dan tidak diperpanjang.
Wilayah kerja yang kontraknya diperpanjang dapat memilih menggunakan model kontrak semula atau kontrak bagi hasil gross split.
Ketentuan ini di satu sisi positif karena seperti memberikan kelonggaran kepada kontraktor untuk memilik bentuk kontrak.
Namun, di sisi lain seperti mengandung arti bahwa, jika pada prinsipnya pemerintah sudah memiliki ketetapan menerapkan sistem gross split, hal ini akan dapat menjadi semacam dasar untuk tidak memberikan perpanjangan kontrak terhadap suatu wilayah kerja (kepada kontraktor eksisting dengan catatan asalkan mereka mau menerapkan sistem gross split). Dengan kata lain, ada ambiguitas pada ketentuan ini.
PENOLAKAN
Dalam hal pengendalian manajemen dan operasi, dalam pasal 15 diatur tentang peran SKK Migas di dalam pemberian persetujuan atau penolakan terhadap rencana kerja dan anggaran yang diajukan kontraktor. Di dalam Pasal 16 juga diatur tentang persetujuan atau penolakan terhadap rencana pengembangan lapangan (POD) yang pertama kali maupun yang selanjutnya.
Sedangkan Pasal 23 mengatur tentang peran SKK Migas di dalam pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan operasional hulu migas. Ketentuan-ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang sampai seberapa jauh pengendalian manajemen kegiatan di dalam sistem gross split yang diterapkanan akan berbeda dengan pengendalian pada sistem Production Sharing Contract (PSC) sebelumnya.
Sebagaimana diketahui salah satu pemicu utama diterapkannya sistem gross split menurut argumen dan klaim pemerintah adalah untuk menyederhanakan birokrasi dan administrasi yang ada pada sistem PSC.
Jika nantinya sistem pengendalian pengawasan yang diterapkan masih tetap sama dengan sistem PSC, hal itu tidak sesuai dengan tujuan atau argumentasi yang semula dikemukakan. Esensi dari sistem gross split adalah penyederhanaan birokrasi dan administrasi, sedangkan esensi sistem PSC dengan cost recovery adalah pengendalian manajemen. Keduanya mestinya tidak dicampuradukkan.
MODEL PSC
Dari hal ini, terlihat bahwa model gross split yang diterapkan saat ini esensinya masih sebatas mengubah dasar dan besaran angka split yang digunakan, sementara di dalam aspek pengendalian manajemen dan kegiatan operasional, utamanya masih mendasarkan pada model PSC yang ada.
Dengan demikian, klaim dan argumentasi atas efisiensi yang salah satunya akan dihasilkan dari penyederhanaan administrasi dan birokrasi yang selama ini dikemukakan menjadi dipertanyakan validitasnya.
Dalam hal angka bagi hasil, dalam Pasal 5 ditetapkan bahwa Base split untuk minyak bumi ditetapkan 57% bagian negara dan 43% bagian kontraktor. Sedangkan Base split untuk gas bumi ditetapkan sebesar 52% bagian negara dan 48% bagian kontraktor.
Di dalam lampiran disebutkan komponen variabel split yang meliputi: status wilayah Kerja, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, jenis reservoir, kandungan co2, kandungan H2S, berat jenis minyak bumi, TKDN pada masa pengembangan lapangan, dan tahapan produksi.
Ketentuan ini perlu diperhatikan, setidaknya dalam dua aspek. Pertama, apa yang menjadi dasar dari ditetapkannya angka-angka tersebut? Apakah angka-angka tersebut dihasilkan dari suatu kajian yang komprehensif ataukah lebih hanya didasarkan atas pertimbangan bahwa pada prinsipnya negara harus mendapat porsi split yang lebih besar daripada kontraktor?
Kedua, terkait komponen variabel, apakah sudah dipikirkan kompleksitas dan betapa tidak sederhananya di dalam bagaimana menerapkan dan memonitor komponen-komponen variabel tersebut yang berbeda-beda dan dapat sangat beragam pada setiap wilayah kerja yang ada?
Kembali kepada pertanyaan mendasar, sebenarnya apa yang ingin dicapai dari penerapan sistem bagi hasil gross split ini? Benar-benar untuk efisiensi dan penyederhanaan administrasi dan manajemen atau sebatas short cut untuk memperbesar porsi bagian pemerintah, atau untuk hal lain?
Pemerintah kiranya harus lebih tajam lagi di dalam hal ini agar di dalam implementasinya menjadi lebih baik bagi semua pihak. Kontrak bagi hasil gross split sebaiknya adalah hanya merupakan sebuah pilihan saja, dan bukan sebuah keharusan mutlak ataupun sebuah keharusan yang dikondisikan.
Jangan sampai keberlangsungan ketersediaan cadangan dan produksi migas nasional ke depan menjadi taruhannya.