Kompas.com; 17 November 2020
Revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021. Hal ini membuat iklim usaha hulu migas di Indonesia masih dibayangi ketidakpastian.
KOMPAS — Nasib investasi hulu minyak dan gas bumi di Indonesia masih tak menentu menyusul tidak dimasukkannya perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam Program Legislasi Nasional 2021. Pembahasan sektor ini dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dianggap belum cukup. Hal krusial yang butuh kejelasan adalah status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta mengenai izin usaha.
Dalam rapat panitia kerja penyusunan program legislasi nasional rancangan undang-undang (RUU) prioritas 2021 oleh Badan Legislasi DPR, Selasa (17/11/2020), terdapat 37 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Di sektor energi, hanya ada satu RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan yang masuk dalam daftar Prolegnas. Perubahan UU No 22/2001 yang disebut-sebut masuk dalam Prolegnas 2021 justru tidak ada.
â€Tidak semua usulan dapat masuk dalam Prolegnas RUU prioritas 2021 mengingat capaian legislasi masih sangat rendah dan program legislasi yang sudah ditetapkan,†ujar Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya saat membuka rapat tersebut.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyampaikan, tidak masuknya perubahan UU Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam Prolegnas 2021 membuat pelaku industri hulu migas hilang kepercayaan pada pemerintah. Sebelumnya, pemerintah menyatakan bahwa hal-hal yang tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja untuk sektor migas akan dibahas dalam revisi UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
“Dengan tidak masuknya perubahan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam Prolegnas 2021 kian membuat pelaku industri hulu migas hilang kepercayaan pada pemerintah.”
Selain itu, sektor migas yang juga diatur dalam UU Cipta Kerja belum memberikan kejelasan dan kepastian. Contohnya adalah status kegiatan usaha migas yang diganti dengan sistem perizinan. Lalu, bagaimana nasib kontrak bagi hasil yang sudah berjalan sekarang ini? Tidak ada penjelasan sama sekali,†kata Komaidi.
Dalam UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, yaitu Pasal 40 yang mengatur tentang perubahan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, disebutkan di Pasal 5 bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasar perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Kegiatan usaha tersebut menyangkut wilayah hulu (eksplorasi dan eksploitasi) serta hilir (pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga).
â€Kalau sifatnya izin usaha kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, lalu bagaimana nasib Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)? Sama sekali tidak ada dalam bab penjelasan,†kata Komaidi.
Hal yang sama disampaikan Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho. Menurut dia, berbagai persoalan di sektor hulu migas Indonesia sangat mendesak untuk dituntaskan, seperti nasib kelembagaan SKK Migas dan Indonesia yang kini berstatus net importer minyak sejak 2004. Belum pula masalah terus menipisnya cadangan minyak nasional dan aspek tata kelola.
â€RUU No 22/2001 diharapkan dapat menyelesaikan persoalan terkait ketidakpastian hukum setelah diundangkannya UU Cipta Kerja, khususnya yang menyangkut izin usaha hulu migas,†ujar Aryanto.