Thursday, November 21, 2024
HomeReforminer di Media2008Natuna D-Alpha dan Politik Energi Nasional

Natuna D-Alpha dan Politik Energi Nasional

Pri Agung Rakhmanto.
Sindo, 25 Februari 2008

Perkembangan terakhir seputar pengelolaan gas alam di Natuna DAlpha masih simpang siur. Meski di berbagai media massa diberitakan bahwa pemerintah telah meminta Pertamina mempersiapkan diri untuk menjadi pengelola blok tersebut, namun tampaknya masih terlalu dini untuk sampai pada satu kesimpulan bahwa hal itu akan benar-benar terwujud. Di samping karena permintaan pemerintah sendiri masih bersifat informal (sampai dengan 20 Februari 2008 lalu belum disertai dengan surat penunjukan resmi dari pemerintah kepada Pertamina), pihak Exxon sendiri (sampai dengan tanggal yang sama) mengaku bahwa proses negosiasi antara mereka dengan pemerintah masih terus berjalan,meskipun masih ada hal-hal yang memang belum mencapai titik temu.

Mencermati perkembangan yang terjadi dan dengan melihat pada pengalaman lalu di Blok Cepu,tampaknya ada kemungkinan (bahkan besar) bahwa pengelolaan Natuna D-Alpha ini juga akan kembali dipercayakan kepada pihak Exxon. Sebuah keputusan yang mungkin dari sudut pandang kebutuhan ekonomi (terlebih finansial) dan politik pemerintah saat ini sah-sah saja dan rasional, tetapi boleh jadi sebenarnya sangat merugikan kepentingan nasional yang lebih luas, terlebih bagi generasi yang akan datang. Terkait hal ini,setidaknya ada tiga aspek ekonomi dan politik energi yang fundamental yang semestinya dijadikan dasar pijakan pemerintah dalam pengambilan keputusan. Pertama, aspek ketahanan energi (energy security). Bahwa tidaklah sama ketika kita menyerahkan pengelolaan sumber energi yang sangat strategis, seperti halnya gas alam di Natuna D-Alpha ini kepada pihak asing dan kepada anak bangsa kita sendiri.Kontrak-kontrak migas, sebagaimana yang dianut Indonesia saat ini, sebagian besar memberikan keleluasaan penuh bagi para kontraktor (asing utamanya) untuk menjual atau mengekspor hasil produksi kepada pihak-pihak yang mereka kehendaki.

Khusus untuk kontrak gas, hal ini bahkan berlaku lebih rigid, dalam arti gas itu sendiri hanya akan dieksploitasi ketika pembelinya sudah jelas. Dalam hal ini, Exxon atau siapa saja kontraktor asing lain tentunya sudah memiliki calon-calon pembeli sendiri yang tidak dapat dikontrol oleh pemerintah. Beda halnya dengan Pertamina yang mengelolanya,pemerintah relatif masih mempunyai kewenangan dan instrumen langsung untuk mengontrol ke mana gas tersebut akan dijual. Jadi, ini bukan masalah antiasing atau nasionalisme dalam arti sempit, tetapi lebih mendasar dari itu.Bahwa ketahanan energi nasional relatif akan lebih kokoh ketika pemerintah mempunyai instrumen langsung yang dapat sepenuhnya dikontrol olehnya. Negara kita saat ini sudah berada dalam keadaan krisis energi. Defisit gas pun sudah terjadi di beberapa daerah.

Dari sekitar 3 tcf produksi gas per tahun, lebih dari 50 persennya diekspor karena memang telah terikat kontrak jangka panjang. Tentu amat sangat tidak bijaksana jika hal itu terulang lagi untuk 46,3 tcf gas Natuna D-Alpha, yang sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri kita saat ini hingga lebih dari 30 tahun ke depan. Kedua, aspek kemandirian ekonomi bangsa. Adalah berbeda bila kita menyerahkan pengelolaan Natuna D-Alpha kepada pihak asing dan kepada anak bangsa kita sendiri. Ketika pengelolaan sepenuhnya berada di tangan asing, multiplier effect dari adanya kegiatan pengelolaan itu akan lebih terasa di luar negeri sana, bukan di negeri kita. Suka atau tidak suka,pada akhirnya kita tak akan mampu mencegah masuknya software, peralatan, bahkan catering import, yang dalam banyak tingkatan sebenarnya mampu kita produksi sendiri. Kita hanya akan menjadi pasar bagi produk-produk impor yang sebenarnya kita sendiri mampu menghasilkannya. Karena itu,tak mengherankan jika industri migas selama ini hanya menyumbang kurang dari 10% dari total PDB kita.

Meskipun tidak berlaku mutlak, tentu akan relatif berbeda ketika, katakanlah, Pertamina yang diberi kepercayaan untuk mengelola blok tersebut.Produk-produk dan hasil penelitian perguruan tinggi di dalam negeri di bidang teknologi migas tentu akan relatif lebih bisa memasuki pasar yang ada. Jadi, ini juga bukan karena antiasing atau nasionalisme sempit, tetapi fakta cenderung menunjukkan bahwa fenomena semacam itu memang ada dan rasional. Ketiga, aspek kedaulatan ekonomi negara di masa depan. Energi adalah penggerak mula (prime mover) roda perekonomian negara. Tersedianya energi dalam jumlah yang cukup,dalam waktu yang tepat, dapat diandalkan, dan dalam harga yang terjangkau adalah pilar ketahanan energi yang sangat menentukan tingkat ketahanan ekonomi suatu negara. Ke depan,kancah persaingan ekonomi global akan sangat ditentukan oleh siapa yang menguasai sumber-sumber energi strategis. Artinya, amatlah tidak bijaksana jika atas nama kebutuhan finansial jangka pendek lantas kita terburu-buru mengeksploitasi gas di Natuna DAlpha ini dengan begitu saja menyerahkannya kepada pihak asing.Apalagi jika itu dilakukan dengan memberikan aneka insentif seperti persentase bagi hasil sebelum pajak yang sangat tidak proporsional (0% pemerintah, 100% Exxon). Sekaranglah saatnya untuk bernegosiasi dengan kepala lebih tegak bahwa kita tidak akan melepaskan Natuna D-Alpha kecuali hanya jika bagi hasil yang akan diterapkan proporsional, masuk akal, dan memenuhi unsur keadilan.

Pemerintah harus berani menentukan berapa persentase bagi hasil yang memang pemerintah inginkan sesuai dengan apa yang pemerintah akan capai dari pengelolaan blok tersebut. Langkah itu tanpa harus takut dengan embel-embel teknologi yang sulit, kandungan CO2 yang sangat besar, butuh modal yang besar, dan sebagainya. Take it or leave it. Kalau mau sekian, ambil, kalau tidak,ya silakan pergi. Biarkan suatu saat nanti anak cucu bangsa kita sendiri yang akan mengelolanya. Toh, gas alam itu tetap ada di situ, tidak ke mana-mana. Kalau bukan Exxon, pasti juga akan ada yang lain yang berminat terhadapnya. Ketiga aspek di atas memang tidak sepenuhnya dapat dikuantifikasikan dengan angka-angka. Tetapi hal itu sama sekali tidak mengurangi rasionalitas bahwa ketiganya jauh lebih penting dibandingkan sekadar keuntungan finansial jangka pendek yang sering tidak optimal. Jadi sebenarnya, dan semestinya, tak ada yang perlu rumit dari negosiasi Natuna D-Alpha ini. Bertele-telenya negosiasi yang tengah berjalan hingga tak kunjung mencapai titik temu sebenarnya hanya mencerminkan bahwa pemerintah tampaknya memang tak punya politik energi yang semestinya,dan hanya mengutamakan kepentingan-kepentingan (finansial) jangka pendek semata.(*) Pri Agung Rakhmanto

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments