Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com
INVESTOR DAILY;  Rabu, 26 September 2018 | 9:50
Pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir perlu menjadi perhatian pelaku usaha seluruh sektor ekonomi, termasuk pelaku usaha di sektor kelistrikan. Hal itu mengingat sejumlah asumsi dalam penyusunan rencana kerja sektor kelistrikan khususnya yang menyangkut asumsi harga jenis energy primer fosil untuk pembangkit, umumnya menggunakan mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat.
Karena itu, jika nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing melemah (terdepresiasi), kinerja keuangan perusahaan yang bergerak di sektor kelistrikan berpotensi tertekan.
Sementara itu, sampai tulisan ini dibuat, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih di level Rp 14.103/US$ atau terdepresiasi sekitar Rp 703,26/US$ dari asumsi APBN 2018 di level Rp 13.400/US$. Dengan kondisi tersebut, hampir dapat dipastikan keuangan perusahaan di sector listrik khususnya PLN dalam kondisi tertekan.
Berdasarkan data yang ada, sampai saat ini porsi energi yang bersumber dari fosil masih cukup mendominasi bauran energi primer pembangkit PLN. Pada tahun 2018 ini, misalnya, konsumsi energi primer untuk pembangkit PLN yang bersumber dari energi fosil tercatat direncanakan masing-masing batu bara 89 juta ton, BBM 3,65 kilo liter, dan gas 660,50 TBTU.
Terkait bauran energi primer pembangkit yang masih didominasi energi fosil tersebut, pelemahan rupiah berpotensi memberikan dampak secara langsung terhadap keuangan PLN.
Keuangan PLN
Terkait pemanfaatan batu bara, dengan penyerapan batu bara untuk pembangkit yang direncanakan sekitar 89 juta ton serta harga batu bara sesuai harga DMO untuk listrik (70 US$/ton), setiap pelemahan rupiah sekitar Rp 100/US$ akan berdampak terhadap bertambahnya beban keuangan PLN sekitar Rp 623 miliar.
Dengan demikian, jika sampai dengan akhir tahun rata-rata nilai tukar rupiah tertahan di level Rp 14.103/US$, rugi kurs yang dialami PLN terkait pembelian batu bara diperkirakan sekitar Rp 4,38 triliun.
Kerugian PLN dari pengadaan batu bara berpotensi meningkat signifikan jika kebijakan harga batu bara khusus listrik tidak diberlakukan oleh pemerintah. Jika PLN harus membeli batu bara dengan menggunakan acuan harga pasar yang mana saat ini di kisaran US$ 104/ton, setidaknya PLN akan memerlukan tambahan biaya pengadaan batu bara sekitar Rp 47,05 triliun.
Untuk BBM, dengan harga minyak saat ini diasumsikan sama dengan asumsi APBN 2018, dengan tingkat konsumsi tersebut beban keuangan PLN paling tidak bertambah sekitar Rp 775 miliar akibat rugi kurs dari pengadaan BBM.
Sementara itu, jika mengacu pada realisasi harga minyak yang saat ini telah berada pada kisaran US$ 70/barel, PLN paling tidak akan memerlukan tambahan biaya pengadaan BBM sekitar Rp 7,89 triliun dari rencana anggaran semula.
Rugi kurs juga berpotensi dialami PLN dari transaksi pengadaan gas untuk pembangkit. Dengan kebutuhan gas untuk pembangkit yang direncanakan sekitar 660,50 TBTU, pelemahan rupiah sekitar Rp 703,26/US$ tersebut akan berdampak terhadap terjadinya rugi kurs sekitar Rp 3,25 triliun dari pengadaan gas. Jika di dalam realisasinya harga gas untuk pembangkit juga meningkat, potensi kerugian PLN dari transaksi pengadaan gas untuk pembangkit akan lebih besar lagi.
Berdasarkan simulasi tersebut, dapat diketahui bahwa nilai tukar rupiah memiliki keterkaitan yang kuat dengan kinerja keuangan PLN. Penguatan (apresiasi) nilai tukar rupiah berpotensi mendorong keuangan PLN dalam kondisi yang lebih baik. Sedangkan pelemahan (depresiasi) nilai tukar rupiah akan berpotensi merugikan bagi kinerja keuangan PLN.
Untuk tahun ini saja, misalnya, pelemahan nilai tukar rupiah paling tidak akan menyebabkan bertambahnya biaya pengadaan jenis energi primer fosil (BBM, gas, dan batu bara) yang diperlukan oleh pembangkit PLN sekitar Rp 15,53 triliun. Dalam hal ini realiasi kerugian PLN akibat depresiasi nilai tukar rupiah tentunya akan lebih besar dari nilai tersebut.
Keterkaitan nilai tukar rupiah terhadap kinerja keuangan PLN tidak hanya melalui transaksi pengadaan jenis energi primer fosil untuk pembangkit, tetapi juga melalui transaksi pembelian jenis energi primer yang lain, pengadaan komponen pembangkit, pengadaan komponen untuk jaringan transmisi dan distribusi listrik, dan biaya operasional pembangkitan yang lainnya.
Mencermati kondisi yang ada tersebut, pemerintah dan PLN perlu lebih berhati-hati di dalam menyikapi pelemahan nilai tukar rupiah. Termasuk di dalam hal ini perlunya pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan harga jual listrik yang telah ditetapkan. Keputusan pemerintah yang menetapkan untuk tidak menyesuaikan harga jual listrik sepanjang tahun 2018-2019 memang positif jika ditinjau dari pertimbangan daya beli masyarakat.
Kebijakan tersebut juga dapat dipahami karena memliliki peran penting untuk menjaga kondusivitas masyarakat di tahun politik. Namun demikian, dalam hal ini pemerintah juga perlu lebih proporsional di dalam melihat kepentingan PLN sebagai sebuah badan usaha.
Kecenderungan pelemahan nilai tukar rupiah dan apalagi bersamaan dengan peningkatan harga energy primer pembangkit, dapat dipastikan akan meningkatkan beban keuangan PLN. Karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, yang tersedia bagi pemerintah pada dasarnya hanya dua opsi, yakni menaikkan harga jual listrik atau menambah anggaran subsidi listrik di APBN.