Wednesday, June 11, 2025
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2025OUTLOOK HARGA MINYAK SEMESTER II-2025

OUTLOOK HARGA MINYAK SEMESTER II-2025

Kontan.co.id; 10 Juni 2025

Penulis Opini:
PRI AGUNG RAKHMANTO
Founder & Advisor ReforMiner Institute
Pengajar di FTKE Universitas Trisakti

Memasuki pertengahan tahun 2025, pasar minyak global berada dalam tekanan ketidakpastian yang tinggi. Pada saat analisis ini ditulis, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) tercatat bergerak berada pada kisaran 60–61 USD per barel, sementara Brent berada di kisaran 63–64 USD per barel. Pergerakan harga ini menunjukkan koreksi dari level pada awal tahun 2025, yaitu di kisaran 75–80 USD per barel, yang terutama dipengaruhi oleh ketidakpastian akibat perang tarif-dagang Trump dan ekspektasi pasar tentang pelemahan permintaan yang menyertainya.

Setidaknya ada tiga faktor utama yang akan memiliki pemgaruh signifikan terhadap pergerakan hanya minyak global hingga akhir tahun 2025, yaitu (1) faktor fundamental supply-demand, (2) faktor tarif Trump dan skala-intensitas perang dagang AS-China dan global, (3) relasi-geopolitik Amerika Serikat (AS) dengan OPEC+ dan khususnya dalam konteks kepentingan tiga negara produsen minyak utama dunia saat ini, yaitu AS, Rusia dan Arab Saudi.

Fundamental Supply-Demand

Untuk tahun 2025, tanpa faktor tarif Trump, pasar minyak global pada dasarnya cenderung berada dalam kondisi kelebihan pasokan (oversupply) namun ketat. Pertumbuhan pasokan diproyeksikan meningkat signifikan —terutama dari negara-negara non-OPEC+— yang mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari, dibandingkan kenaikan sekitar 0,6 juta barel per hari pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan permintaan minyak di sisi lain diperkirakan hanya sekitar 1,1 juta barel per hari. Pertumbuhan PDB China yang diproyeksikan hanya berkisar 4,7–5% adalah faktor yang mempengaruhi perlambatan permintaan. Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), permintaan minyak China pada 2024 tercatat hanya sekitar +150 ribu barel per hari, jauh dibandingkan rata-rata tahunan sekitar +600 ribu barel per hari dalam dekade sebelumnya. Tren penurunan pertumbuhan permintaan minyak China tersebut diproyeksi berlanjut di sepanjang tahun 2025. Faktor yang sedikit membantu di sisi permintaan adalah tumbuhnya permintaan minyak di negara-negara berkembang lain khususnya India, Asia Non-OECD, Brasil dan kawasan Timur Tengah.

Pasca penerapan tarif Trump, pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2025 diproyeksi akan melambat dari 3,3% menjadi 2,8%. Pertumbuhan ekonomi AS sendiri diperkirakan turun dari 2,7% menjadi 1,8%, dengan kemungkinan resesi meningkat hingga 40%. Pertumbuhan permintaan minyak global diperkirakan lebih rendah dari proyeksi awal, hanya mencapai sekitar 650.000 barel per hari, dengan total permintaan rata-rata sekitar 103,90 juta barel per hari. Di sisi lain, suplai diproyeksikan tetap tumbuh sekitar 1,6 juta barel per hari. Berdasarkan sejumlah skenario, diantaranya oleh Rystad Energy (2025), jika perang dagang terus berlanjut, pertumbuhan permintaan minyak China pada 2025, yang semula diperkirakan berada pada kisaran +150.000 -180.00 barel per hari, dapat menjadi lebih rendah hingga hanya sekitar +90.000 barel per hari.
Dari sisi stok, data Energy Information Administration (EIA) mencatat adanya kenaikan stok minyak mentah AS pada awal Mei 2025 sebesar 1,3 juta barel menjadi 443,2 juta barel. Kondisi ini, berbanding terbalik dengan ekspektasi pasar yang memperkirakan adanya penurunan stok minyak mentah AS. Ini adalah potensi tambahan atas kondisi oversupply yang telah ada, yang membuka peluang bagi AS untuk melakukan ekspor lebih besar ke Eropa dan Asia, di tengah negosiasi tarif yang tengah berjalan. Adapun negara-negara OPEC+ terpantau dijadwalkan akan tetap meningkatkan produksi minyak mentahnya sebesar 411.000 barel per hari pada Juni ini.
Kepentingan AS-Rusia-OPEC

Dalam hal level harga minyak pada 2025, Amerika Serikat pada dasarnya memiliki kepentingan untuk menjaga harga agar relatif rendah, yaitu di kisaran 60 USD per barel. Harga itu relatif rendah, namun masih tetap cukup ekonomis bagi industri hulu mereka, setidaknya untuk short-run, dalam kondisi ketidakpastian ekoonomi global yang ada. Bagi AS-Trump, harga minyak rendah saat ini diperlukan untuk menekan inflasi dan mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga di tengah tekanan ekonomi akibat tarif impor. Harga minyak yang rendah telah menurunkan angka Consumer Price Index (CPI) utama di AS pada Maret lalu menjadi 2,6% (tiga bulanan tahunan), turun dari sebelumnya 4,5% di Januari.
Rusia sangat bergantung pada ekspor energi, khususnya minyak-gas, sebagai sumber pendapatan negara. Pada tahun 2024, pendapatan dari sektor migas berkontribusi sekitar 30% dari pendapatan federal dan 16% dari pendapatan pemerintah konsolidasi. Pada tahun ini, anggaran Rusia disusun dengan asumsi harga ekspor minyak rata-rata 70 USD per barel. Namun untuk sejumlah tujuan karena adanya diskon, harga ekspor minyak Rusia di pasar global adalah sekitar 55 USD per barel. Jika harga minyak semakin melemah, pendapatan migas Rusia diperkirakan akan turun 30% dari target anggaran, sementara defisit anggaran yang semula diproyeksikan 1,7 triliun rubel pada 2025 akan meningkat hingga sekitar 5 triliun rubel atau 2,3% PDB.

Sebagaimana Rusia, negara-negara anggota OPEC juga sangat bergantung pada pendapatan dari ekspor minyak. Arab Saudi, misalnya, sektor minyak diperkirakan menyumbang sekitar 75% dari pendapatan negara. OPEC memiliki kepentingan untuk mempertahankan harga minyak tetap tinggi, namun pada level moderat, yakni sekitar 70–80 USD per barel. Dalam kaitan dengan rentang harga ini, kepentingan OPEC adalah untuk terus menjaga pangsa pasar dan mempertahankan dominasi produksi dan menjadi pihak berpengaruh dalam hal harga. Disamping itu, sekaligus tetap kompetitif dalam menghadapi persaingan dari produsen non-OPEC seperti Amerika Serikat, Brasil, dan Kanada,

Stabilitas-Keseimbangan Harga

Dengan kata lain, baik negara-negara produsen dan konsumen utama minyak saat ini secara keseluruhan pada dasarnya tengah berkepentingan pada stabilitas perekonomian negara masing-masing. Arah dinamika geopolitik khususnya berkaitan dengan harga minyak tahun 2025, dengan demikian, kemungkinan akan bergerak mengikuti interaksi kepentingan antara negara-negara produsen utama, khususnya OPEC+ (Rusia) dan AS, dan kepentingan negara-negara konsumen utama, seperti AS, China, India, dan negara-negara berkembang lainnya.

Dengan mempertimbangkan dinamika geopolitik global, yang cenderung mencerminkan pola tarik-menarik kepentingan antar pihak, serta melihat faktor fundamental pasokan-permintaan yang tercermin dari informasi serta kondisi pasar minyak saat ini, tanpa adanya kejadian luar biasa, level harga minyak moderat yang mencerminkan interaksi tersebut untuk paruh kedua tahun 2025 ini adalah di kisaran 60-70 USD per barel. Itu adalah kondisi atau rentang harga yang dapat dikatakan “sedang diinginkan” oleh mayoritas produsen-konsumen utama pasar minyak global saat ini, dan oleh karenanya berpeluang untuk mempengaruhi dan menggerakkan sentimen pasar ke arah tersebut.

Peluang terjadinya “perang harga”, dimana harga minyak akan bergerak lebih rendah dari 60 USD per barel, sebagai imbas tidak langsung dari potensi tidak terkendalinya perang tarif-Trump, tetap terbuka. Fluktuasi dengan batas bawah di rentang 50-60 USD per barel dengan demikian juga tetap berpeluang terjadi. Namun, situasi tersebut kemungkinan hanya akan bersifat short-run, mengingat harga minyak yang terlalu rendah juga akan berdampak negatif terhadap kepentingan berbagai pihak, baik OPEC+ maupun Amerika Serikat. Bagi OPEC+, harga minyak yang terlalu rendah akan menimbulkan tekanan fiskal, sedangkan bagi AS, kondisi serupa akan memberikan tekanan signifikan terhadap keberlanjutan operasi produsen shale oil-gas domestik, mengingat rata-rata keekonomian biaya produksi shale oil-gas di AS saat ini berada pada kisaran 60-65 USD per barel.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments