Bisnis Indonesia, 19 Februari 2010
Penetapan biaya pajak tidak langsung, termasuk pajak daerah dan retribusi daerah ke dalam biaya operasi KKKS yang bisa dimasukkan ke dalam cost recovery diyakini dapat menghapus masalah yang selama ini dihadapi kontraktor.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan rancangan peraturan pemerintah tentang cost recovery bisa memberikan keuntungan bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Kendati begitu, ada beberapa hal baru dalam RPP itu yang masih perlu diperdebatkan.
“Selama ini KKKS selalu dibuat pusing mengatasi masalah pajak tidak langsung dan retribusi daerah karena menjadi tanggungan KKKS. Dengan dimasukkan ke dalam biaya operasi, itu sepenuhnya bisa di cost recovery. Ini justru praktik yang benar dan sebenarnya sudah berlaku sebelum BP Migas ada,” jelasnya kemarin.
Cost recovery merupakan komponen biaya yang dapat dikembalikan kepada KKKS. Saat ini cost recovery terdiri atas pertama, non-capital cost, pengeluaran eskplorasi dan pengembangan, pengeluaran produksi, dan pengeluaran administrasi. Kedua, capital cost, yaitu depresiasi atas investasi aset KKKS. Ketiga, unrecovered cost, yaitu pengembalian atas biaya operasi tahun-tahun sebelumnya yang belum dapat diperoleh kembali.
Sebenarnya, lanjut Pri Agung, RPP Cost Recovery tersebut tidak perlu ada apabila sistem pengelolaan migas dalam skala lebih besar sudah benar penataannya. Sayangnya, munculnya BP Migas yang bukan entitas bisnis menjadikan seluruh urusan yang dahulunya mudah menjadi rumit. “Pemerintah dulu tinggal menarik pajak dari Pertamina dan KKKS tinggal menerima hasil berdasarkan kontrak bagi hasil yang ditetapkan dalam kontrak dengan Pertamina. Karena BP Migas yang menggantikan peran Pertamina bukan entitas bisnis, pemerintah tidak bisa menarik pajak dari BP Migas dan urusan fiskal KKKS langsung berhubungan dengan pemerintah,” katanya.
Dia mencontohkan kerumitan yang terjadi dalam hal bea masuk impor barang yang harus dibayar dulu setelah itu di-reimburse. “Itu rumit urusannya sampai ada pengaturan baru berupa peraturan menteri keuangan yang harus diperbaruhi setiap tahun.”
Minat investasi
Di sisi lain, lanjut Pri Agung, beberapa hal yang baru memang bisa mengurangi minat investasi. Beberapa hal itu meliputi masalah penetapan auditor fiskal dan teknis independen, penggunaan bank nasional sebagai penyedia jasa cash management, pengenaan pajak final terhadap proses farm in farm out dan uplift, pembatasan cost recovery, serta penetapan negative list cost recovery. “Memang ada dualisme dalam RPP Cost Recovery ini. Ada yang membantu investor, khususnya terkait dengan fiskal tetapi juga ada yang terkesan men-discourage. Namun, harus disadari pula hal yang membuat gamang investor adalah mengenai hukum apa yang mesti mereka pegang, kontrak atau RPP atau permen ESDM tentang cost recovery,” jelasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani kemarin meyakinkan investor RPP Cost Recovery tidak untuk mengganggu iklim investasi. Menurut dia, RPP Cost Recovery tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan investasi di sektor minyak dan gas bumi. Selama ini, RPP Cost Recovery yang pembahasannya berlarut-larut menjadi isu yang terus menggelinding di antara pemangku kepentingan industri migas. Bahkan, Kementerian ESDM yang bertanggung jawab secara teknis terhadap industri migas sempat menjadikan polemik mengenai cost recovery tersebut sebagai penyebab dari ciutnya minat investor migas masuk ke Indonenesia, seperti yang terjadi pada tender dan penawaran langsung wilayah kerja migas periode 2008-2009.
Kepala BP Migas R. Priyono menolak berkomentar mengenai spirit RPP Cost Recovery yang diungkapkan Menteri Keuangan tersebut. ” No comment lah…” Sementara itu, Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo mengatakan RPP Cost Recovery memang untuk memberikan kepastian hukum bagi investor. Akan tetapi, dia tidak menjelaskan ketika ditanya apakah secara substansi RPP Cost Recovery tersebut bisa menumbuhkan minat investasi di sektor migas Indonesia. “Maksud Bu Menteri Keuangan untuk memberikan kepastian hukum,” tegasnya. (rudi.ariffianto@bisnis.co.id)