Kompas.com; 15 Oktober 2021
Kekayaan energi terbarukan di Indonesia, baik hidro, bayu, surya, maupun panas bumi, harus terus dioptimalkan. Namun, pemanfaatannya mesti terukur dan seimbang.
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan memerlukan keseimbangan dalam aspek pasokan dan permintaan, keekonomian, serta tak mengabaikan pengembangan minyak dan gas bumi. Masalah perizinan yang berbelit, insentif fiskal, dan intermitensi membutuhkan solusi yang tepat.
Dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, pemerintah memberikan porsi lebih besar pada sumber energi terbarukan. Dengan tambahan kapasitas pembangkit listrik 40.600 megawatt (MW) sampai 2030, porsi energi terbarukan sebanyak 51,6 persen dari jenis hidro, bayu, surya, panas bumi, dan biomassa. Sisanya berasal dari sumber energi fosil, seperti batubara, minyak, dan gas bumi.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, optimalisasi energi terbarukan menjadi keniscayaan. Namun, pengembangannya harus seimbang serta tidak meniadakan pengembangan energi fosil, seperti minyak dan gas bumi. Indonesia belum sepenuhnya bisa lepas dari ketergantungan terhadap energi fosil.
â€Keseimbangan keekonomian pengembangan energi terbarukan perlu diperhatikan. Dari aspek fiskal, perlu intervensi negara, seperti dalam bentuk subsidi. Penyebabnya, dalam beberapa kasus, harga listrik dari energi terbarukan masih mahal,†kata Komaidi, Minggu (24/10/2021), di Jakarta.
“Optimalisasi energi terbarukan menjadi keniscayaan. Namun, pengembangannya harus seimbang serta tidak meniadakan pengembangan energi fosil, seperti minyak dan gas bumi.”
Dari bauran energi nasional saat ini, kata Komaidi, peran energi fosil masih 85 persen. Indonesia juga masih berstatus negara pengimpor bersih (net importer) minyak. Meski demikian, potensi energi terbarukan tetap harus dikembangkan seoptimal mungkin.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana dalam telekonferensi pers, akhir pekan lalu, menyampaikan, sampai triwulan III- 2021, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 11 persen. Pada 2025, Indonesia menargetkan peran energi baru dan terbarukan sedikitnya 23 persen dalam bauran energi.
â€Penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan sebesar 376 MW dari target 854 MW,†ujar Dadan.
Untuk mempercepat capaian target 23 persen tersebut, imbuh Dadan, pembangkit listrik energi terbarukan terus dikembangkan. Pemerintah juga menempuh strategi substitusi bahan bakar fosil ke bahan yang lebih ramah lingkungan. Strategi itu antara lain metode co-firing (pencampuran bahan bakar batubara dengan biomassa) pada pembangkit listrik tenaga uap dan pemanfaatan biodiesel dari minyak kelapa sawit.
Keandalan pasokan
Dari pantauan di lapangan, di wilayah yang belum terjangkau jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), warga mengandalkan pasokan listrik dari tenaga surya atau bayu. Di Pulau Papagarang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, sekitar 1.500 penduduk Desa Papagarang bergantung pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 380 kilowatt peak (kWp).
â€Saat musim hujan ketika matahari tidak bersinar penuh dilakukan pemadaman bergilir karena daya listrik yang disimpan dalam baterai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik semua warga,†kata Basir, Kepala Desa Papagarang.
Situasi yang sama terjadi di PLTS Oelpuah di Kupang, NTT. PLTS dengan kapasitas 5 megawatt peak yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Januari 2016 ini memiliki sekitar 22.000 modul panel surya. Modul itu memiliki kemampuan menangkap cahaya pada suhu tertentu. Jika suhu melebihi batas normal, alat akan rusak secara perlahan.
â€Saat cuaca mendung, hujan, atau awan menutup sinar matahari, daya listrik langsung anjlok dalam hitungan detik,†kata operator dan teknisi di PLTS Oelpuah, Mateus Manggo.
Sementara itu, pada Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, yang berkapasitas 75 MW di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, faktor cuaca turut memengaruhi besaran produksi tenaga listrik. PLTB Sidrap kerap menghadapi musim angin kencang dan angin lemah. Biasanya musim angin kencang terjadi pada Mei sampai Oktober. Puncaknya terjadi pada Juli hingga September.
â€Pada masa pergantian musim, angin bertiup lemah. Jika kecepatan angin tak sampai tiga meter per detik, turbin belum berputar. Di sini, rata-rata kecepatan angin 10-12 meter per detik. Kalau sedang bagus, kecepatan angin mencapai 12-20 meter per detik,†kata Manajer Operasi PLTB Sidrap Pribadhi Satriawan.
Terkait intermitensi pembangkit listrik dari energi terbarukan, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, dilema pemanfaatan sumber energi terbarukan sejauh ini adalah sifatnya yang intermiten. Belum semua pembangkit listrik energi terbarukan mampu beroperasi 24 jam.
Akibatnya, diperlukan pasokan dari jenis energi lain atau penyimpan daya listrik (baterai). â€Ongkos baterai yang digunakan untuk menyimpan energi masih tinggi, sekitar 30 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). Apabila ada teknologi baterai baru dan biayanya lebih rendah, hal itu akan membantu. Meski pembangkit listrik dialihkan ke energi terbarukan, permintaan konsumen terhadap listrik tetap dan mungkin malah naik,†ucap Darmawan (Kompas, 22/10/2021).
Pemerintah telah menetapkan target emisi nol karbon pada 2060. Berbagai insentif fiskal disiapkan, termasuk penyusunan regulasi tarif jual beli tenaga listrik dari sumber energi terbarukan.